Tampilkan postingan dengan label General Philosophy. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label General Philosophy. Tampilkan semua postingan

Rabu, 21 Oktober 2015

Tak Berdaya Melawan Start-Up: Alasan Bisnis Konvensional Selalu Kalah


Traveloka, Air B&B, Gojek, Lazada. Empat perusahaan start-up ini dapat dijuluki distruptive bussiness karena, selain memperkenalkan model bisnis baru yang digilai konsumen, mereka juga menggulung tatanan bisnis konvensional yang ada sebelumnya. Traveloka menggoyang bisnis travel agent di seluruh negeri; Air B&B dan Gojek membuat industri hotel dan transportasi dalam kota ketar-ketir; dan Lazada membantu membuat pusat perbelanjaan IT seperti Mangga Dua nyaris mati. Fenomena ini terbilang mengagumkan karena yang diganggu oleh bisnis-bisnis distruptif ini bukan hanya pemain kecil; pemimpin-pemimpin pasar yang selama beberapa dekade terakhir merajai hati konsumen pun seakan tidak berdaya menghadap para perusahaan start-up ini.

Fenomena ini tentu membuat kita bertanya-tanya. Apakah sih yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan start-up ini sehingga mereka begitu digdaya?

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dipahami bahwa ada tiga elemen utama yang menentukan kualitas suatu organisasi perusahaan. Tiga elemen tersebut adalah sumber daya, proses dan nilai. Sumber daya adalah aset yang dimiliki perusahaan seperti pekerja, teknologi, modal dan lain-lain. Proses adalah alur kerja baik formal seperti prosedur operasi standar maupun informal seperti pola komunikasi antar individu dan pola pengambilan keputusan. Terakhir, nilai dapat didefinisikan sebagai serangkaian sistem kepercayaan yang menentukan tingkat prioritas berbagai aspek dalam organisasi (misalnya ketika ada perbedaan pendapat, apakah lebih penting menjaga perasaan lawan atau memenangkan argumen? dll.). Di lapangan, perusahaan konvensional cenderung memiliki sumber daya yang lebih baik dibandingkan dengan start-up di awal. Tetapi proses dan nilai organisasi mereka tidak cocok dengan lingkungan bisnis era digital. Karena itulah di berbagai sektor bisnis perusahaan start-up dapat mengalahkan perusahaan konvensional dengan relatif mudah.

Mari kita ambil Traveloka sebagai contoh. Saat Traveloka memasuki bisnis online travel agent (OTA), start-up ini harus menghadapi perusahaan travel berskala nasional seperti Dwidaya Tour. Dwidaya Tour sendiri memiliki sumber daya yang cukup untuk membuat dan menjalankan bisnis OTA. Bahkan Dwidaya Tour lebih dulu memasuki bisnis OTA dengan mendirikan Ezytravel pada tahun 2008 –yang ditutup pada tahun 2009 sebelum dibuka kembali pada tahun 2011; jauh sebelum Traveloka berdiri di tahun 2012. Meski memiliki keunggulan sumber daya dan jaringan, tetapi elemen proses dan nilai Ezytravel yang kebanyakan masih diturunkan dari bisnis travel konvensional ala Dwidaya Tour membuatnya tampak kikuk ketika dibandingkan dengan Traveloka. Secara proses, Traveloka yang konsisten berevolusi untuk menciptakan user interface terbaik bagi konsumen (termasuk mobile apps) serta melakukan pemasaran melalui kombinasi media digital dan konvensional membuat Ezytravel keteteran. Secara nilai, Ezytravel yang terpaku nilai travel agent konvensional masih memprioritaskan promo murah sebagai ujung tombak pemasarannya; sementara Traveloka dengan leluasa mengeksplorasi aspek kecepatan, transparansi harga bahkan aspek emosional yang ternyata cukup diapresiasi konsumen Indonesia. Karena itulah Traveloka sekarang memimpin bisnis OTA sementara Ezytravel masih berjuang untuk merebut sisa-sisa market share.

Masih banyak contoh lain yang dapat diangkat seperti bagaimana Gojek merevolusi bisnis transportasi perkotaan dengan aplikasi smartphone meskipun perusahaan taksi Blue Bird telah meluncurkan aplikasi sejak tahun 2011. Intinya adalah, jika Anda ingin perusahaan konvensional Anda memiliki kesempatan dalam bersaing dengan perusahaan start-up, ciptakanlah proses dan nilai organisasi yang sesuai dengan lingkungan bisnis era digital.

Minggu, 27 September 2015

Krisis Ekonomi dan Manajemen Bisnis Berkelanjutan

 

Dengan semakin mendekatnya nilai Dollar Amerika ke titik psikologis Rp 15.000, bayang-bayang krisis semakin terasa mendekati kita. Dalam waktu dekat -jika tren ini berlanjut- PHK besar-besaran akan terjadi, harga barang-barang akan semakin melonjak dan satu demi satu lembaga perbankan akan ambruk dengan tidak elegan. Singkatnya, krisis ekonomi akan membawa banyak sekali penderitaan. Tapi tahukah Anda bahwa krisis juga memberi ruang untuk bisnis yang lebih berkelanjutan (sustainable)?

Krisis ekonomi bagi perusahaan dapat diibaratkan seperti wabah pes di abad pertengahan. Mereka membunuh orang-orang yang lebih lemah dan menyisakan orang-orang yang lebih kuat, lebih bersih dan lebih beruntung. Dalam konteks bisnis, perusahaan-perusahaan dengan manajemen yang buruk akan tumbang sementara perusahaan dengan manajemen yang lebih baik akan bertahan. Perusahaan baik kemudian akan tumbuh lebih besar mengisi ruang-ruang yang ditinggalkan oleh perusahaan buruk; menciptakan lingkungan bisnis lebih baik yang bermanfaat bagi masyarakat.

Menariknya, definisi manajemen yang baik ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Norma bisnis modern yang dikarakterisasikan dengan profesionalisme, strukturisasi dan tanggung jawab terhadap pemegang saham justru lebih tidak tahan krisis. Profesionalisme membuat hubungan perusahaan dengan stakeholder semata bersifat teknis dan praktis -tanpa komitmen dan kepercayaan jangka panjang; strukturisasi membuat pengambilan keputusan lebih lama dan lebih tidak fleksibel; sementara tanggung jawab terhadap pemegang saham membuat perusahaan mengejar keuntungan jangka pendek yang lebih mudah terlihat dan lebih cepat memuaskan para pemegang saham. Ketika krisis menerpa, tiga hal ini menjadi kunci ketidakberlanjutan yang dijamin akan membunuh perusahaan dengan efisien.

Lalu manajemen bisnis seperti apa yang berkelanjutan? Perusahaan seperti apa yang akan tumbuh sementara perusahaan-perusahaan lain tumbang? Hasil survey konsultan bisnis global PwC pada tahun 2012 menunjukan hasil yang mengejutkan: perusahaan keluarga adalah model manajemen tahan krisis yang menjadi kunci keberlanjutan bisnis di abad 21 (artikel lengkap dapat dibaca di sini). Perusahaan keluarga sendiri pernah menjadi fenomena di tahun 1970-1980an ketika perusahaan-perusahaan keluarga dari Asia Timur tumbuh pesat di level internasional. Namun sejak saat itu model perusahaan keluarga dianggap ketinggalan jaman dan perusahaan-perusahaan didorong untuk mengadopsi sistem manajemen modern yang 'profesional' dan 'efisien'. Sungguh ironis melihat keadaan telah berbalik!

Rahasia dibalik ketahanan model manajemen perusahaan keluarga terhadap krisis dapat dikerucutkan menjadi tiga hal utama yang merupakan kebalikan dari karakter perusahaan modern, yaitu:
 
1. Hubungan Berbasis Kepercayaan

Manajemen modern memandang pegawai, penyuplai bahan baku dan distributor sebagai roda gigi yang membuat bisnis berjalan. Sebaliknya, perusahaan keluarga membangun hubungan dengan seluruh stakeholder-nya secara personal. Pendekatan ini menimbulkan kepercayaan, komitmen dan loyalitas; tiga modal penting saat krisis menerpa.

2. Kecepatan Pengambilan Keputusan

Saat krisis, pemimpin perusahaan keluarga dapat secara fleksibel mengambil kontrol dan mengendalikan perusahaan agar bergerak menjauhi badai. Keistimewaan ini tidak dimiliki oleh perusahaan 'modern' dengan struktur-strukturnya yang kaku. Ketika perusahaan keluarga tengah melesat melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap krisis, dewan direksi perusahaan 'modern' mungkin masih melakukan meeting-meeting panjang yang hasilnya tidak konklusif.

3. Perspektif Jangka Panjang

Tanpa pemegang saham yang meminta untuk segera dipuaskan, perusahaan keluarga dapat berinvestasi dalam aspek-aspek jangka panjang. Misalnya apabila perusahaan masih mengimpor bahan baku, manajemen dapat mengakuisisi sektor hulu sehingga ketergantungan terhadap impor berkurang. Bagi pemegang saham proses akuisisi ini kurang menarik karena biayanya besar dan keuntungannya sedikit; tetapi ketika nilai Dollar naik menembus atap, berkurangnya ketergantungan terhadap impor dapat menjadi faktor penentu keselamatan perusahaan.

Begitulah. Model manajemen perusahaan keluarga menawarkan perspektif yang berbeda -bahkan berkebalikan, dari model manajemen modern. Dengan bayangan krisis yang terus menggedor pintu, inilah saat yang tepat untuk meninjau perspektif perusahaan dan melakukan beberapa perubahan demi keberlanjutan.

Rabu, 09 September 2015

Emosi dan Pengambilan Keputusan


Saat Irlandia mengalami kelaparan besar-besaran pada tahun 1845-1542, Pemerintahan Inggris mengirimkan pejabat-pejabat secara silih berganti untuk mengatasi krisis tersebut. Kebanyakan pejabat tersebut akhirnya gagal, tapi ada satu pejabat yang menonjol karena kesuksesan serta metodenya yang unik. Pejabat tesrebut secara konsisten menolak untuk melakukan peninjauan lapangan dan lebih memilih bekerja dari mejanya. Alasannya sederhana, pejabat tersebut tidak ingin emosinya terlibat. Ia tahu apabila ia melakukan peninjauan lapangan, hatinya akan terenyuh oleh kondisi orang-orang yang kelaparan dan Ia akan membuat keputusan-keputusan bodoh karena terpengaruh emosi.

Kaitan antara emosi dan pengambilan keputusan memang menarik. Di satu sisi, emosi adalah pemicu pengambilan keputusan yang paling efektif. Di sisi lain, emosi bukanlah dasar pengambilan keputusan yang bijak. Hal ini sudah disadari manusia sejak lama, salah satunya oleh Aristoteles yang dalam kajian retorika-nya mengklasifikasikan berbagai ‘jalur’ emosi seperti rasa marah, sedih, takut dan lain-lain yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan persuasi secara efektif; sambil memperingatkan bahwa jalur persuasi yang baik dan ‘terhormat’ tetaplah melalui logika.

Dahsyatnya pengaruh emosi terhadap pengambilan keputusan kembali terbukti saat foto Aylan yang terbujur kaku di tepian pantai Turki beredar luas. Aylan adalah pengungsi perang saudara di Suriah yang sedang berusaha mencari suaka secara ilegal di Eropa. Sontak, gelombang kesedihan, kemarahan dan rasa frustasi masyarakat internasional menggelegak; mendorong Uni Eropa untuk menampung lebih banyak pengungsi dan melonggarkan standar penerimaan pengungsi. Tuntutan ini dikabulkan hampir segera oleh pemerintah banyak negara.

Keputusan untuk menampung lebih banyak pengungsi ini sejatinya tidak bijak karena ia tidak berdasarkan data/statistik atau berdasarkan logika (detail bisa didiskusikan lebih lanjut/diriset secara terpisah). Pertama, gelombang pengungsi dari Suriah (dan orang-orang yang tewas tenggelam di perjalanan) sudah ada sejak empat tahun yang lalu dan Uni Eropa secara sistematis dan terukur sudah menampung pengungsi; tidak ada alasan valid untuk tiba-tiba meningkatkan pengungsi yang diterima secara sembrono. Kedua, sumber masalah ada pada konflik di Suriah sehingga energi masyarakat internasional seharusnya difokuskan untuk menyelesaikan konflik; bukan menampung pengungsi yang jumlahnya tidak akan habis selama konflik masih ada. Ketiga, masalah pengungsi tidak selesai begitu mereka sampai di Eropa; gegar budaya dan kurangnya keahlian pengungsi justru akan membawa masalah dalam jangka panjang.

Jika mengacu pada Elaborate Likehood Model, emosi melakukan persuasi melalui rute pheripheral (secara literal berarti ‘kurang penting’). Rute pheriperal lebih efektif melakukan persuasi karena informasi yang melalui rute ini tidak dipikirkan secara matang-matang. Namun, perubahan sikap atau pengambilan keputusan yang dihasilkan rute pheripheral bersifat sementara, mudah berubah dan tidak dapat diprediksi. Oleh karena itu, diperkirakan setelah segala emosi mereda, pemerintah yang terkait serta masyarakat internasional akan kembali kepada sikap awal mereka sebelum foto Aylan beredar –for better of worse.


Begitulah; seandainya fotografer tidak mengambil foto Aylan atau Aylan tidak terdampar di pantai dengan posisi yang begitu menyentuh, maka Aylan hanya akan menjadi satu lagi angka yang tidak signifikan dalam catatan statistik. Ironisnya, justru statistik inilah yang lebih bijak digunakan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan.

Kamis, 16 April 2015

Go Talk to 100 Women



Do you want to be successful?

According to my humble experience, there are two ways one can gain success in career.

First, be good at strategy instead of tactic. It's good if you can draw, count, or talk, but you will gain much more if you are able to put purpose and result as context on those skills.

Second, be good at communication. This is the subject that I'd like to elaborate on this writing.

The key of excellent communication lies on confidence and attractiveness. As simple as it may sound, these characteristics are very hard to achieve by those who are simply not born with it (I overstretched this statement a little bit, both nurture and nature have significant influence in shaping this 'natural talent'). Some people are so good, they can deliver eloquent presentation without the tiniest bit of preparation. Others who are not so lucky can spend one year preparing only to crash and burn when the occasion arrives.

I wouldn't have to ramble on to prove the importance of communication as leverage for one's career. What the reader should understand is, whether it is an important presentation in front of high management or a simple remarks on a brainstorming session, communication can only be successful if it connects the speaker and the target. And in order to establish connection, one must posses confidence first to initiate contact then attractiveness to retain the target attention. Just to be clear on this, what I meant by attractiveness is not as simple as physical attractiveness. It might be best defined as certain persona that basically attract other people in whatever means necessary.

Learning these two traits, confidence and attractiveness, can be a little bit tricky since it is not skill that one can simply practice in order to be good. Confidence is rooted on one's thought, attitude and action. It begin with one's thought about oneself and how others see him/her. Then it proceed toward one's attitude/feeling. Lastly, these thoughts and attitude will seep through action. If the action is met by positive reinforcement (appreciated, admired, etc), the thoughts and attitude behind it will be reinforced over and over again.

With this understanding in mind, how, then, can one increase one's confidence?

Well, first route, one can change his thoughts and feelings. This, however, are easier said (or written) than done.

The more radical route, and only the bold or desperate will try this, is to change your action.

Albert Ellis once try this method. To overcome his anxiety, he force himself to talk to 100 women. Asking them for a date. In the end, Ellis didn't get a date at all, but his anxiety is largely reduced while his confidence soar.

This is largely thanks to cognitive consonance mechanism every individual has on their brain. We have a very basic tendency to align our thought, feeling, and action. Whenever there's disparity on these three aspects, one will feel very uncomfortable. The most beautiful thing is, it is easier for thought and feeling to realign with action that it is for action to realign with thought and feeling. So when one start to act confidence, one will feel very uncomfortable at first but then one's thought and feeling will realign themselves to suit the action. That's why Ellis method is so successful.

So if you are having trouble with communication due to severe lack of confidence, this is what you should do: go talk with 100 women stranger (or men, if you're a woman, but there's no evidence it will work as good). Don't be afraid, you've got nothing to lose except your lack of confidence.

That's all about the shortcut to manifest confidence. Attractiveness, will be the subject for another time.

Good luck, gentlemen.

Jumat, 20 Februari 2015

Menentang Filosofi ‘Goblok’ Bob Sadino

Beberapa minggu yang lalu Indonesia kehilangan salah satu ikon bisnis yang paling terkenal. Saat satu lini masa berduka, saya justru sedikit terkejut dengan sedikitnya hal yang saya ketahui tentang figur ini. Bahkan pengetahuan saya mengenai beliau bisa ditulis dalam satu kalimat sederhana, “Bob Sadino adalah pengusaha sukses di bidang agrikultur yang selalu mengenakan celana pendek,”. Sekian.

Untungnya saya tidak perlu bersusah-susah, di minggu kematiannya manusia-manusia di alam maya dengan antusias membagi filosofi-filosofi Bob Sadino semasa dia hidup. Sebagian besar bukan hal yang baru tentunya, tapi saya baru benar-benar memperhatikan kali ini. Ternyata satu tema besar yang dipercayai Bob dengan gigih adalah bahwa pendidikan sama sekali tidak penting bagi kesuksesan. “Biarpun goblok, kalau usaha pasti bisa sukses,” ujarnya. Pendidikan, terkadang juga modal, tidak terlalu penting. Bahkan kadang-kadang Bob menyindir kalangan profesional, orang-orang yang menggunakan pendidikannya untuk bekerja pada orang lain. “Bangun pagi, macet-macetan di jalan, pulang malam. Itu kerja atau dikerjain?” sentilnya jenaka.

Filosofi Bob ini tentu ada benarnya. Anjurannya tentang keberanian untuk membuka usaha, untuk bertindak dan bekerja keras –bukannya tunduk seperti anak bebek untuk kemakmuran orang lain, benar-benar dapat dijadikan inspirasi. Tapi apakah benar pendidikan itu tidak penting? Apakah gaya ‘biar goblok, asal usaha’ layak dicontoh? Menurut saya tidak.

Untuk memahami filosofi Bob dan membongkar kelemahannya, kita harus terlebih dahulu mengenal Bob Sadino lebih dalam. Menurut halaman wikipedia, Bob Sadino berasal dari keluarga kaya yang memiliki lingkup internasional. Ketika orang tuanya meninggal, Bob mewarisi seluruh harta mereka karena kakak-kakaknya yang lain sudah sukses sendiri-sendiri. Muda dan digelimangi harta, Bob kemudian melakukan perjalanan keliling dunia sampai hartanya hampir habis.

Sempat  bermukim di Den Haag, Bob memutuskan kembali ke Indonesia dengan membawa dua mobil mewah sebagai modal. Satu mobilnya dijual untuk membeli rumah dan satunya lagi dia sewakan (dikemudikan langsung oleh Bob, setelah dia berhenti kerja di Unilever karena tidak betah). Sial bagi Bob, dia mengalami kecelakaan dan mobilnya rusak total. Di titik inilah Bob jatuh sedalam-dalamnya. Sampai-sampai ia harus bekerja sebagai tukang bangunan untuk menyambung hidup, karena ia masih ngotot tidak mau bekerja untuk orang lain.

Hari-hari yang berat ini terus berlangsung sampai tangan malaikat menyelamatkannya. Iba melihat Bob yang depresi, salah satu kawan lamanya mengenalkannya pada bisnis telur ayam negeri –sesuatu yang masih baru waktu itu. Bob kemudian bangkit, menjual telur ayam pada relasi ekspatriatnya, mengembangkan sayapnya lewat usaha keras sampai-sampai ia bisa mendirikan Kemchick dan menjadi salah satu pengusaha tersukses di Indonesia.

Dari kisah hidup ini, kita bisa melihat darimana filosofi-filosofi ‘goblok’ Bob berasal. Bob melihat bahwa kesuksesannya –yang tanpa ilmu & tanpa modal , berasal semata dari kerja kerasnya (yang memang patut diteladani). Tetapi beliau abai melihat pengaruh relasi dan statusnya di masa lalu. Padahal, tanpa teman yang bisa memfasilitasinya pada bisnis telur ayam negeri dan relasi ekspatriatnya, belum tentu Bob muda bisa menjadi Bob yang sekarang.

Disinilah, menurut saya, letak kesalahan filosofi ‘goblok’. Bagi mayoritas kita yang tidak memiliki previlege Bob, pendidikan sangatlah penting untuk menunjang kesuksesan. Orang-orang ‘goblok’ dengan previlege pada akhirnya memang akan lebih mempekerjakan orang pintar dan berakhir lebih sejahtera, tetapi pendidikan dan ilmu dapat membuka pintu-pintu lain yang tidak bisa dilalui orang-orang ‘goblok’. Asalkan, seperti kata Bob Sadino, kita mau berusaha lebih keras.

Kamis, 11 Desember 2014

Belajar dari Mitsuhide: Manajemen Orang Pintar



Akechi Mitsuhide adalah salah satu pahlawan yang terkenal dari era Sengoku. Mitsuhide memiliki kecerdasan dan ilmu pedang tinggi yang membuatnya diangkat menjadi salah satu jendral paling penting di pasukan Oda Nobunaga. Ironisnya, hal yang membuatnya paling dikenang sejarah bukanlah prestasi-prestasinya yang gemilang, tetapi pemberontakannya pada tahun 1582 yang berujung pada kematian Oda Nobunaga.

Baik sebagai pahlawan maupun pengkhianat, kisah hidup Mitsuhide sangatlah menarik untuk dipelajari. Menurut novel Taiko karya Eiji Yoshikawa, Mitsuhide yang keturunan bangsawan sempat hidup menggelandang sebagai Ronin ketika gubernur yang Mitsuhide dukung tewas dikhianati oleh anaknya sendiri. Dalam periode ini, Mitsuhide menyambung hidup dengan mengajar dari desa ke desa. Beliau dibayar seadanya, sesuai dengan kemampuan petani-petani desa yang tidak begitu kaya.

Suatu hari, Mitsuhide mendapatkan kesempatan untuk mempertunjukkan pengetahuannya yang luas dalam masalah politik dan ilmu perang di depan Gubernur Provinsi Barat. Gubernur tersebut terkesan dengan keahlian Mitsuhide, tetapi dia menolak mempekerjakannya. Akhirnya Mitsuhide hanya diberi pakaian baru dan perbekalan, kemudian diminta kembali meneruskan perjalanannya.

Ketika sang Gubernur ditanya kenapa dia melepaskan orang dengan bakat seperti Mitsuhide, Gubernur tersebut menjawab dengan bijak, "Merak di antara ayam hanya akan menebar masalah." Artinya, apabila ia mempekerjakan Mitsuhide, dalam waktu singkat Mitsuhide akan melampaui perwira-perwiranya yang lain. Gubernur tersebut khawatir akan muncul rasa iri dan rasa permusuhan yang malah menghancurkan soliditas provinsinya.

Gubernur tersebut memang bijak. Seorang perwira yang menonjol sendirian, karena lebih cerdas baik dari sejawatnya maupun dari pemimpinnya kebanyakan hanya akan menimbulkan masalah. Butuh keahlian kepemimpinan yang tinggi untuk bisa mengelola seorang jenius sebagai anak buah. Beberapa contoh seperti Lu Bu, Yi Sun-Shin hingga Ahok dan Risma menunjukan apa yang terjadi ketika seekor Merak dipekerjakan diantara ayam. Sementara dari sisi Mitsuhide sendiri, kapasitasnya tidak akan terpenuhi secara maksimal ketika ia bekerja di sebuah sistem inferior dengan pemimpin yang lemah. Akibatnya akan muncul rasa ketidakpuasan yang berujung pada hal-hal buruk.

Ketika akhirnya Mitsuhide diangkat menjadi perwira Oda Nobunaga, ia bekerja dengan sesama merak seperti Shibata Katsue dan Totoyomi Hideyoshi sehingga tidak ada keirian besar yang terjadi. Selain itu, kepemimpinan Nobunaga yang memiliki visi kuat dan ambisi tinggi membuat Mitsuhide memiliki banyak kesempatan untuk memaksimalkan kapasitasnya. Di bawah sistem kepemimpinan Nobunaga, Mitsuhide menjadi perwira yang sangat efektif dalam memberi kontribusi yang sangat positif bagi organisasi. Sebagai penghargaan, Mitsuhide menjadi orang pertama yang diberi kepercayaan untuk menguasai sebuah benteng atas nama Nobunaga.

Kemesraan Mitsuhide-Nobunaga berlangsung lama dan berbuah manis. Namun ketika Nobunaga sudah menjadi kekuatan terbesar di Jepang, Mitsuhide justru melakukan pemberontakan yang mengejutkan seluruh Jepang. Mitsuhide bukanlah orang yang gila kekuasaan. Ia orang terhormat yang berbudi baik dan tahu nilai-nilai samurai. Kala itu semua orang bertanya, "kenapa dia bisa menurunkan derajatnya dan menjadi seorang pengkhianat?"

Catatan sejarah menunjukan ada beberapa kejadian yang menggiring Mitsuhide menjadi pengkhianat, yaitu:

1. Nobunaga pernah membuang peralatan makan berharga Mitsuhide ke kolam karena kecewa.
2. Nobunaga melanggar sebuah perjanjian damai yang menyebabkan ibu (atau bibi) Mitsuhide dibunuh.
3. Nobunaga pernah menendang Mitsuhide ketika Mitsuhide menyatakan kekagumannya pada lawan.
4. Nobunaga kerap menyebut Mitsuhide dengan panggilan hinaan 'kepala jeruk'.

Dilihat sekilas, empat tindakan Nobunaga diatas bukanlah kesalahan besar yang bisa merubah seseorang menjadi pengkhianat. Apalagi Nobunaga tidak pernah segan untuk memberikan imbalan besar baik secara finansial maupun secara emosional bagi Mitsuhide.

Satu-satunya kesalahan Nobunaga, apabila boleh disebut kesalahan, adalah gagal memahami karakter 'orang pintar' seperti Mitsuhide. Mitsuhide berbeda dengan Hideyoshi yang loyal dan rendah hati atau perwira-perwira lainnya yang berpikiran sederhana. Sebagai orang yang merasa pintar, lebih pintar dari Nobunaga, Mitsuhide perlu diapresiasi dengan perlakuan spesial dan rasa hormat. Hal ini dikarenakan Mitsuhide mungkin merasa kontribusinya pada kesuksesan Nobunaga lebih besar dibanding perwira lain. Selain itu, harga diri Mitsuhide bisa saja membuat dirinya berpikir bahwa Nobunaga lebih membutuhkan dirinya daripada dia sendiri membutuhkan Nobunaga. Meskipun Mitsuhide adalah orang yang terhormat, tapi kepintarannya dan keyakinan bahwa dia lebih pintar dari yang lain pasti melahirkan arogansi tersembunyi yang akan meledak apabila ditekan terus-menerus.

13 hari setelah pemberontakannya, Mitsuhide habis ditumpas Hideyoshi. Tetapi ada beberapa pelajaran dari kisah Mitsuhide yang bisa menjadi masukan bagi manajer-manajer di masa kini.

Pertama, mempekerjakan orang pintar tidak selalu baik bagi organisasi. Perhatikan kondisi organisasi Anda dan sumber daya manusia yang Anda miliki. Apabila orang pintar yang akan anda rekrut over-qualified, relakanlah dia pergi. Ini lebih baik untuk kemajuan organisasi secara jangka panjang.

Kedua, tantangan dan derajat kebebasan yang tinggi sangat diperlukan untuk membuat orang pintar selalu tertantang. Biarkan orang pintar mengambil inisiatif-inisiatif penting dalam organisasi. Dengan cara ini, kontribusi orang pintar terhadap organisasi bisa maksimal.

Ketiga, ciptakan kompetisi yang positif antara orang-orang pintar yang Anda pimpin. Biasanya orang pintar tidak menciut di hadapan kompetisi. Mereka juga tidak sensitif dan tidak membawa persaingan di organisasi menjadi persaingan pribadi.

Keempat, beri ruang untuk mengapresiasi harga diri mereka, tapi jangan biarkan arogansi mereka tumbuh. Berikan kesan bahwa mereka sangat penting, tapi mereka bukan orang paling penting dalam organisasi.

Demikian empat pelajaran tentang manajemen orang pintar yang bisa kita ambil dari Mitsuhide. Semoga tulisan ini membantu anda dalam merekrut dan mengatur orang-orang pintar. Selamat memimpin!

Senin, 03 November 2014

Menjual Togua, Eh, Yogyakarta


Apartemen-apartemen baru terus berdiri di Yogyakarta. Salah satu diantaranya mampir ke mejaku hari Kamis yang lalu, meminta agar disusunkan strategi pemasaran ciamik agar seluruh unitnya kandas disikat investor berduit. Ini sebenarnya femonena yang lucu. Sampai tahun lalu, rata-rata pengembang properti masih sepakat bahwa Yogyakarta yang rentan gempa, gunung meletus dan tsunami tidak cocok untuk pembangunan apartemen. Hingga kemudian apartemen Mataram City dibangun dan laku keras, menginspirasi pengembang lain untuk ikut membangun apartemen/condotel. Asyiknya lagi, timing apartment-rush di Yogyakarta ini sangat tepat. Karena pada saat yang bersamaan, Yogyakarta sedang dijual.

Saya hidup di Yogyakarta selama empat tahun, dari tahun 2009 sampai tahun 2013. Kala itu, Yogyakarta masih sangat nyaman. Yang saya sempat saya saksikan hanyalah awal dari penjualan Yogyakarta. Seperti pembangunan hotel 'The Rich' (kudos for the best name ever) yang sepertinya lebih cocok ada di Dubai dibandingkan di Yogyakarta; munculnya billboard bertajuk studying can be fun yang mempromosikan apartemen Mataram City pada pelajar (if you need an apartment to make studying fun, go to UI); dan gonjang-ganjing kecil lainnya.

Seiring waktu berjalan, dibawah pimpinan walikota baru Haryadi Suyuti (satu-satunya cawalkot yang mendapatkan dukungan penuh keraton pada pilkada Yogyakarta lalu), Yogyakarta menjadi semakin sumpek. Beberapa masalah 'karya' Haryadi Suyuti adalah penataan ruang publik yang buruk; kawasan tepi sungai yang semakin tak terurus; menjamurnya pembangunan hotel yang membebani lingkungan kota; hingga banyaknya aktivitas seni budaya yang dihilangkan (Hilal, 2013). Dari sekian masalah ini, 'penjualan Yogyakarta' melalui pemberian izin berlebihan terhadap hotel dan apartemen adalah salah satu yang paling membuat geram masyarakat. Pasalnya, pembangunan hotel dan apartemen ini kerap merusak ekosistem, membuat permukaan air tanah turun dan mengakibatkan warga sekitar mengalami kekeringan. Selain itu, ia juga memunculkan dampak sosial berupa bertambahnya kesenjangan, kemacetan dan turisme yang unsustainable (later on this).

Menariknya tidak hanya kota Yogyakarta saja yang dijual. Di lingkup provinsi pun, Daerah Istimewa Yogyakarta is on sale. Di pesisir Kulon Progo, Keraton (pemerintah provinsi DIY) dan Bupati Kulon Progo sejak 2006 berusaha gigih untuk merebut kawasan pertanian sepanjang pesisir Kulon Progo (yang dilindungi oleh UU Agraria) dan merubahnya menjadi kawasan pertambangan pasir besi. Kasus yang paling terakhir dan paling hits adalah rencana keraton mengubah logo Yogyakarta menjadi Togua dalam sebuah transaksi fantastis senilai 1,5 miliar Rupiah! (more on this later) Hanya tuhan yang tahu berapa persen dari nilai tersebut yang jadi komisi untuk para 'penanggung jawab'.

Meski kritik dari pegiat seni terus mengalir deras, tidak ada tanda-tanda Yogyakarta akan mengubah langkah. Mungkin memang tidak ada kota menggairahkan yang bisa lepas dari cengkraman kapitalisme. Mungkin memang sudah suratan takdir bagi Yogyakarta untuk berakhir sebagai sapi perah manusia-manusia serakah. Mungkin memang sudah waktunya bagi romantisme klasik kota ini untuk usai. Para alumni Yogyakarta seperti saya mungkin hanya bisa menatap sedih dari jauh, sementara penduduk Yogyakarta mungkin hanya bisa tetap tunduk pada Keraton dan kepanjangan tangannya yang getol berjualan.


And the walls kept tumbling down
In the city that we love
Great clouds roll over the hills
Bringing darkness from above


But if you close your eyes,
Does it almost feel like
Nothing changed at all?
[Bastille - Pompeii]

Minggu, 31 Agustus 2014

Tinjauan-Tinjauan terhadap Kasus FS

Latar Belakang

Florence Sihombing (FS) adalah mahasiswa S2 Kenotariatan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Pada tanggal 28 Agustus 2014, beliau mencoba menyerobot antrian pertamax di SPBU Lempuyangan tetapi tindakannya dihentikan aparat. FS kemudian melampiaskan kekesalannya di Path dengan menyebut bahwa orang Jogjakarta 'tolol, miskin dan tidak berbudaya'. Keluhannya ini kemudian tersebar dan memicu berbagai reaksi.

Tulisan ini mencoba untuk membeberkan fakta, tinjauan psikologis, tinjauan sosiologis dan tinjauan hukum atas kasus FS dan perkembangannya.

Isu-isu yang Berkembang

Kasus FS adalah kasus Path ofensif kedua yang tersebar. Sebelum FS, seorang wanita bernama Dinda juga mengalami hal yang sama akibat mengeluhkan tindakan seorang ibu hamil yang meminta tempat duduknya. Dalam kasus FS, selain gelombang bully ada juga gelombang anti-bully yang memperluas konteks wacana. Beberapa isu yang kemudian berkembang dari kasus FS adalah,

1. FS dan kebebasan berpendapat
2. FS dan repulsi masyarakat Jogjakarta terhadap pendatang
3. FS dan keluhan pendatang Jakarta atas kemacetan
4. FS dan proses hukum yang berjalan

Dalam tulisan ini, keempat isu akan dibahas secara singkat.

Tinjauan Psikologis

Florence Sihombing is a rich pretentious fuck. Dalam beberapa tulisannya yang tersebar kemudian, terlihat bahwa dia memiliki kejenuhan akut terhadap Jogjakarta dan perspektif yang sangat miring terhadap masyarakat Jogjakarta. Hal ini bisa disebabkan berbagai faktor, salah satunya adalah kebiasaannya menjadi manja dan menjadi gaul di kota asal yang tidak bisa berlanjut di Jogjakarta. Fenomena ini memang umum terlihat di mahasiswa pendatang meskipun derajatnya bervariasi dan biasanya hilang setelah si pendatang beradaptasi.

Tinjauan Sosiologis

Dari pengamatan penulis, ada perbedaan antara kasus FS dan kasus Dinda dalam hal kemunculan gelombang anti-bully. Dalam kasus Dinda, gelombang anti-bully baru muncul pada sekitar h+3 meledaknya isu. Itupun jumlahnya kecil dan karakternya spesifik. Sebaliknya dalam kasus FS gelombang anti-bully hampir muncul seketika setelah isu meledak. Argumentasi gelombang anti-bully berkisar pada 'dia kan cuma curhat' atau 'dia kan engga fitnah, orang Jogja emang banyak kok yang sesuai perkataan dia'.

Dari kecepatan munculnya gelombang anty-bully ini, kita bisa menyimpulkan bahwa arus utama lini masa media sosial beranggapan bahwa pelanggaran nilai moral Dinda lebih besar dari FS. Dalam kata lain, tidak memberikan tempat duduk pada ibu hamil dianggap lebih buruk daripada menghina satu provinsi sebagai 'tolol, miskin dan tidak berbudaya'. Ini menunjukan toleransi terhadap nilai-nilai 'pretentiousness' lebih besar dibanding toleransi terhadap 'selfishness'.

Seiring waktu, argumentasi yang dikembangkan oleh kelompok anti-bully semakin melebar. Ini terlihat dari lahirnya antitesis berupa 'hati masyarakat jogja sudah keras' dan 'masyarakat jogja keras terhadap pendatang' yang menggeser paradigma victim dari 'masyarakat jogja' ke 'Florence Sihombing'. Secara pribadi, penulis tidak menyetujui antitesis ini karena secara tidak langsung pemikiran tersebut mentoleransi nilai-nilai pretentiousness, mengabaikan masyarakat luar Jogja yang juga marah terhadap FS dan mendegradasi karakter masyarakat Jogjakarta secara tidak adil. Apabila ada badut yang masuk ke kamar Anda, mengencingi kasur Anda lalu Anda memarahinya, apakah adil bila Anda dikatakan 'tidak memiliki hati' dan 'keras terhadap badut'?

Pemikiran 'masyarakat Jogja keras terhadap pendatang' secara khusus memiliki dampak sistemik yang buruk. Pemikiran ini mengaburkan identitas Florence dari 'penyerobot antrian yang pretentious' menjadi 'seorang pendatang'. Masyarakat Jogja kemudian dianggap entitas rasis yang memarahi Florence karena dia 'orang luar', bukan karena dia menghina Jogjakarta. Pemikiran seperti ini bisa memecah keharmonisan Jogjakarta dan menumbuhkan prasangka tidak adil di hati para pendatang.

Antitesis lain yang relatif unik muncul adalah 'Apabila Florence dibully, bukankah pendatang Jakarta yang mengeluh atas kemacetan juga bisa dibully'. Pengikut pemikiran ini, menurut penulis, memiliki kesalahan deduksi akibat kegagalan membaca data. Florence melakukan kesalahan dengan menyerobot antrian spbu (x) lalu menghina masyarakat Jogjakarta secara pribadi dengan menggunakan kata tolol, miskin dan tidak berbudaya (y) maka dia dibully (z). Dalam kasus pendatang Jakarta yang mengeluh atas kemacetan, unsur kesalahan (x) dan hinaan pribadi (y) sama-sama tidak muncul sehigga bully (z) tentu tidak mungkin terlaksana.

Tinjauan Hukum

Perkembangan hukum kasus FS terhitung cepat dan mengejutkan. Dimulai ketika sebuah LSM (Jatisura) mengadukan FS dengan dasar hukum UU ITE. FS merespon dengan menyewa kuasa hukum tanpa mencoba upaya damai. Pihak kepolisian kemudian membawa kasus ini ke tahap penyidikan. Pada awalnya, banyak pihak yang menganggap FS tidak akan terkena hukuman pidana karena kesalahannya tidak diatur oleh UU ITE. Kenyataannya, polisi menetapkan status FS sebagai tersangka dan langsung menahan FS. Pihak kepolisian menyatakan bahwa FS ditahan karena tidak kooperatif serta kekhawatiran melarikan diri, mengulangi pidana dan menghilangkan barang bukti.

Ini berarti sifat pretentious FS sekali lagi menjerumuskannya. Seharusnya bila FS bertindak baik selama pemeriksaan, polisi tidak perlu menahannya karena yang berhak menentukan putusan dan hukuman adalah hakim saat pengadilan. Kenyataannya, FS berlaku sedemikian buruknya saat pemeriksaan hingga kepolisian terpaksa menahannya.

Menyambut keputusan ini, reaksi lini masa tercampur aduk. Meskipun secara teknis tindakan kepolisian tidak salah, ada kelompok arus utama lini masa yang menentang penahanan FS. Argumen kelompok penentang ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga grup dimana ketiganya tidak memiliki bobot logis yang cukup, yaitu:

1. 'Tidak seharusnya FS ditahan atas dasar UU ITE' - argumen ini salah karena FS ditahan karena dikhawatirkan mengganggu proses hukum dengan cara melarikan diri atau menghilangkan barang bukti, serta kekhawatiran FS akan mengulangi hinaannya terhadap masyarakat Jogjakarta dengan dampak sosial yang lebih buruk. Penahanan FS saat ini tidak ada kaitannya dengan UU ITE.

2. 'Banyak kasus lain yang lebih parah mengapa mengusut kasus FS' - argumen ini salah karena besar kecilnya kasus tidak berkaitan dengan kekebalan di muka hukum. Apa karena banyak pembunuhan, kasus pencurian tidak perlu diusut?

3. 'Kepolisian hanya sigap di kasus yang ngehits seperti ini' - menurut penulis argumen ini muncul karena beberapa golongan netizen hanya mengikuti kasus yang hits tapi tidak mengakses informasi kasus-kasus yang tidak ngehits. Sehingga generalisasi yang salah akibat tidak cukupnya data diambil.

Kesimpulan

Menurut hemat penulis, kemarahan masyarakat Jogjakarta terhadap FS dapat dijustifikasi dan penahanan FS telah sesuai dengan proses hukum. Penulis tidak membenci FS secara pribadi tetapi FS perlu mendapatkan konsekuensi agar nilai-nilai 'pretentiousness' tidak menyebar lebih jauh.

Jumat, 15 Agustus 2014

The Fault in Our Star


Hey people! I bet you've already heard about the latest hit on tear-jerker cancer-ridden now-a-major-motion-picture genre: The Fault in Our Stars. This is not a stuff that I usually read, but it only cost IDR 49.000 and my economy has been bad lately so please don't judge me!

Tidaklah bijak untuk menaruh ekspektasi berlebih terhadap The Fault in Our Stars. Ini buku remaja. Buku ini memiliki jalan cerita yang linear, plot twist yang tidak terlalu menakjubkan dan gaya penulisan yang biasa saja. Namun, terlepas dari itu, The Fault in Our Stars tetaplah buku bagus yang tidak ada salahnya dibaca.

The Fault in Our Stars bercerita tentang penderita kanker stadium akhir bernama Hazel yang visi hidupnya adalah 'meminimalkan jumlah orang yang akan bersedih akibat kematiannya'. Hazel seharusnya sudah meninggal, tetapi dia mendapatkan obat eksperimental yang secara mengejutkan bisa memperpanjang hidupnya. Karakter Hazel nyaris sama dengan karakter wanita first person dari setiap novel remaja karangan bapak-bapak: cukup cantik, suka membaca, tidak terlalu suka bergaul, filosofis, takut untuk mencinta dan seterusnya. Ia merasa hidupnya tidak bermakna sampai (kejutan!) dia bertemu dengan seorang lelaki cancer survivor berkaki satu bernama Augustus yang menarik, kurus tapi berotot, filosofis dan seterusnya.

Hazel dan Augustus mulai menjalin persahabatan -lalu cinta- di hadapan bayangan kematian yang tidak terelakan. Hazel takut melukai Augustus sementara Augustus tidak kuasa mengabaikan cinta. Mereka mulai bertukar bacaan, berpiknik ke tempat unik, bertukar lelucon filosofis dan sesekali menghibur Isaac -teman mereka yang buta karena kanker dan ditinggal pacarnya. Dua sejoli ini memahami satu sama lain, tidak seperti setiap orang lain di dunia yang memberikan mereka 'Keistimewaan Kanker' dalam setiap interaksi. Lalu novel ini diakhiri sebuah twist yang sangat bisa diprediksi tapi tetap membuat kita bersedih. Terdengar seperti resep generik? Memang!

Bagi saya pribadi, hanya ada dua hal yang membuat The Fault in Our Stars istimewa.

Pertama, novel ini menggambarkan kontras antara lelaki dan perempuan saat mereka menghadapi kematian. Hal yang paling ditakuti Hazel adalah membuat orang lain bersedih akibat kematiannya. Sementara hal yang paling ditakuti Augustus adalah dilupakan. Sama seperti setiap self-respecting lelaki di dunia, Augustus terobsesi untuk membuat jejak dalam peradaban dunia. Dia ingin melakukan sesuatu yang hebat dan mati dengan terhormat, bukannya mati dalam pertempuran klasik yang menyedihkan antara manusia melawan penyakit. Kontras ketakutan ini diperlihatkan dengan halus dan secara tidak sadar kerap mempengaruhi keputusan-keputusan yang mereka ambil. Sampai akhirnya Augustus dan Hazel terpaksa untuk berdamai dengan ketakutan-ketakutan mereka.

Kedua, novel ini memiliki judul hebat. Makna judul The Fault in Our Stars dijelaskan di pertengahan novel. Alkisah Shakespeare melalui salah satu karakternya pernah berkata bahwa keburukan-keburukan terjadi adalah akibat perbuatan manusia, "it is not the fault of stars". Tentu mudah berkata seperti itu apabila kita adalah seorang Senator Romawi atau seorang Shakespeare. Tapi bagi sepasang remaja yang harus menempuh berbagai macam tragedi hanya untuk bertemu dengan akhir yang pasti, bukankah "the fault is in the stars"?

Akhir kata, sebagai karya sastra The Fault in Our Stars adalah novel yang sangat biasa-biasa saja. Ia tidak sebanding dengan Sister's Keepers yang membuat kita menangis dan mengutuk penulisnya (mengapa kau tega membunuhnya demi uang dan popularitas?!) atau I Don't Know How She Does It yang mampu membuat kita menangisi kematian karakter yang tidak kita kenal. Tetapi apabila Anda memiliki uang ekstra sebesar Rp 49.000 dan ingin mendapatkan perspektif segar tentang hidup, tidak ada salahnya Anda membeli novel ini.

Peace out!

Sabtu, 19 April 2014

Antara Dinda dan Perilaku Bersosial Media

Apa yang bisa kita pelajari dari kasus Dinda dan Ibu Hamil?

Pertama, jangan pernah macam-macam dengan komunitas Ibu Hamil. Jangan pernah. Kamu bisa berkata buruk tentang PKI, FPI dan bahkan tentang Ibu Ani Yudhono tanpa konsekuensi apapun. Tetapi apabila kau menyinggung Ibu Hamil, bersiaplah mendapat hujatan dari langit dan bumi. 

Kedua, kita bisa belajar tentang perilaku masyarakat Indonesia dalam menggunakan sosial media.

Di tulisan ini, saya tidak hendak mengulas kasus Dinda melawan Ibu Hamil dari perspektif moral. Saya tidak memiliki kapasitas untuk melakukan itu karena (1) saya tidak pernah hamil, (2) saya termasuk orang yang suka memberikan bangku kepada yang membutuhkan apabila perjalanan yang saya tempuh kurang dari dua jam jadi pendapat saya akan kasus ini mungkin bias dan (3) saya belum sempat mempelajari undang-undang yang mengharuskan pemberian kursi kepada orang yang membutuhkan.

Saya lebih tertarik untuk membahas kasus ini dari perspektif sosial media, tepatnya tentang bagaimana perilaku masyarakat Indonesia dalam menggunakan sosial media ketika menghadapi pemikiran yang tidak simpatik.

Nah.

Kasus Dinda melawan Ibu Hamil dimulai ketika Dinda menulis ketidaksukaannya pada Ibu Hamil di Path, sebuah sosial media yang sebenarnya sangat privat. Sial bagi Dinda, tulisannya disebarkan oleh seorang teman Path-nya. Dalam hitungan detik, screenshot gerutuan Dinda terhadap Ibu Hamil tersebar ke seluruh Indonesia. Bisa ditebak, Dinda yang tidak tahu apa-apa tiba-tiba dibanjiri oleh kecaman.

Berikut contoh beberapa kecaman untuk Dinda,


Indeks Kecaman terhadap Dinda terus meninggi sampai-sampai beberapa orang yang kecerdasan dan kesadaran moralnya lebih tinggi dibanding rata-rata masyarakat Indonesia menulis tulisan instropektif terhadap perilaku mengecam online berjamaah ini. Aneh, memang. Orang-orang yang tidak memberi kursi kepada orang dengan kebutuhan khusus di kendaraan umum ada banyak sekali. Meskipun begitu, saya tidak pernah melihat ada satupun yang memarahi orang-orang yang tidak mau memberi tempat duduk tersebut. 

Hal ini menunjukan dua efek sosial media, yakni:
  • Membuat Hal yang Menjadi Penting
Sesungguhnya apabila Kasus Dinda tejadi di dunia nyata, masalahnya tidak akan menjadi begitu besar. Misalnya Dinda bercerita pada temannya, Rani. "Ran, tadi di kereta ada Ibu-Ibu Hamil rese minta kursi ke gw terus ga gw kasih karena begini-begitu," kira-kira apa reaksi Rani? Apakah Rani akan menampar Dinda lalu memberitahukan kejahatan Dinda pada semua temannya? Tidak bukan? Kecuali tentu apabila Rani sendiri sedang.... ah, saya terlalu takut untuk menyelesaikan punch line ini.
  • Membuat Orang Menjadi Kejam
Ada kecenderungan dimana orang-orang belum memahami bahwa sosial media adalah ruang interaksi antara orang betulan. Di social media, hanya karena orang-orang tidak mengenal Dinda, tidak bisa melihat Dinda dan mungkin tidak akan pernah bertemu dengan Dinda seumur hidupnya, mereka jadi merasa bebas berkata keras dan berkomentar jahat seakan Dinda hanyalah entitas abstrak, bukan manusia biasa yang bagaimanapun perlu dihormati (dan yang paling penting untuk didengar para pria, perlu untuk tidak dihamili sesuka hati). 

Ser Jorah Mormont pernah berkata bahwa "There's a beast inside every man, and it stirs when you put social media in his hand". Perkataan Ser Jorah ini ada benarnya. Begitu kau memberikan sosial media kepada seseorang, maka kau akan bisa melihat betapa kejamnya orang itu sebenarnya!

Sebenarnya kejadian mirip Dinda telah terjadi beberapa kali sebelumnya. Kalian masih ingat dengan Justine Sacco?


Tweet Justine Sacco lebih ofensif dan cerdas daripada gerutuan panjang Dinda di Path. Tapi sama saja, kasus Justine Sacco membuat orang-orang yang memiliki sedikit latar belakang pengetahuan di human communication behavior seperti saya terkejut. Betapa berlebihan dan betapa kejamnya reaksi orang-orang di social media! Apalagi Justine Sacco (dengan follower 300) dan Dinda sebenarnya hanya membagi pemikirannya dengan circle-nya, orang-orang yang (terutama dalam kasus Dinda) seharusnya paham bahwa pemikiran tersebut tidak untuk disebarkan.

Begitulah. Untuk mengakhiri tulisan ini saya akan memberikan beberapa kata mutiara:

1. Hormatilah Ibu Hamil. Mereka adalah perwujudan Gaia serta Isis.
2. Berikanlah kursi kepada yang membutuhkan selagi Anda masih mampu. Itu bukan masalah yang besar.
3. Cobalah untuk lebih beradab di media sosial.

Cao~





Sabtu, 28 Desember 2013

Antara Mita dan Kratingdaengnya

Beberapa hari yang lalu kita semua dikejutkan dengan meninggalnya seorang pekerja kreatif bernama Mita dari agensi Y & R. Dikabarkan bahwa Mita meninggal setelah bekerja selama tiga hari berturut-turut dan meminum terlalu banyak Kratingdaeng. What a way to die...

Seperti yang biasa kita lakukan saat mendengar ada seseorang yang meninggal, saya segera  melihat akun twitternya Mbak Mita untuk melihat saat-saat terakhirnya. Meresapi apa yang dia pikirkan dan apa yang dia lakukan sebelum maut menjemputnya sembari membayangkan apa isi twitter, facebook dan blog terakhirku saat aku meninggal nanti (semoga bukan lelucon seksis atau semacam itu ya Tuhan).

Menariknya, dari salah satu kicauan Mbak Mita saya menemukan fakta bahwa beliau memiliki kebiasaan untuk mencampur Kratingdaengnya dengan Vodka saat lembur.

Hardcore. ( '_' )

Pertanyaannya, kenapa?

Saya yakin Mbak Mita bukannya tidak tahu bahaya Kratingdaeng -apalagi bahaya Kratingdaeng yang dicampur Vodka ditambah kerja selama tiga hari non-stop. Tetapi kenapa dia tetap melakukannya? Kenapa dia mempertaruhkan nyawanya sampai sejauh itu?

Jawabannya sederhana, saudara-saudaraku. Karena bekerja sangat menyenangkan.

Menurut saya, dan saya yakin Mbak Mita akan sependapat, tidak ada yang bisa menandingi perasaan puas yang ditimbulkan dari bekerja. Apalagi kalau ternyata kita cukup hebat dalam bidang yang kita kerjakan dan kompensasi yang diberikan dari perusahaan sangat mencukupi.

Mungkin Mbak Mita juga melakukan kerja rodi tiga hari berturut-turut bukan karena paksaan, tapi lebih karena dia cinta pekerjaannya. Karena dia merasa karyanya diakui dan bisa  mempengaruhi orang banyak.

Yah, kita tahu cinta itu sangat berbahaya.