Rabu, 21 Oktober 2015

Tak Berdaya Melawan Start-Up: Alasan Bisnis Konvensional Selalu Kalah


Traveloka, Air B&B, Gojek, Lazada. Empat perusahaan start-up ini dapat dijuluki distruptive bussiness karena, selain memperkenalkan model bisnis baru yang digilai konsumen, mereka juga menggulung tatanan bisnis konvensional yang ada sebelumnya. Traveloka menggoyang bisnis travel agent di seluruh negeri; Air B&B dan Gojek membuat industri hotel dan transportasi dalam kota ketar-ketir; dan Lazada membantu membuat pusat perbelanjaan IT seperti Mangga Dua nyaris mati. Fenomena ini terbilang mengagumkan karena yang diganggu oleh bisnis-bisnis distruptif ini bukan hanya pemain kecil; pemimpin-pemimpin pasar yang selama beberapa dekade terakhir merajai hati konsumen pun seakan tidak berdaya menghadap para perusahaan start-up ini.

Fenomena ini tentu membuat kita bertanya-tanya. Apakah sih yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan start-up ini sehingga mereka begitu digdaya?

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dipahami bahwa ada tiga elemen utama yang menentukan kualitas suatu organisasi perusahaan. Tiga elemen tersebut adalah sumber daya, proses dan nilai. Sumber daya adalah aset yang dimiliki perusahaan seperti pekerja, teknologi, modal dan lain-lain. Proses adalah alur kerja baik formal seperti prosedur operasi standar maupun informal seperti pola komunikasi antar individu dan pola pengambilan keputusan. Terakhir, nilai dapat didefinisikan sebagai serangkaian sistem kepercayaan yang menentukan tingkat prioritas berbagai aspek dalam organisasi (misalnya ketika ada perbedaan pendapat, apakah lebih penting menjaga perasaan lawan atau memenangkan argumen? dll.). Di lapangan, perusahaan konvensional cenderung memiliki sumber daya yang lebih baik dibandingkan dengan start-up di awal. Tetapi proses dan nilai organisasi mereka tidak cocok dengan lingkungan bisnis era digital. Karena itulah di berbagai sektor bisnis perusahaan start-up dapat mengalahkan perusahaan konvensional dengan relatif mudah.

Mari kita ambil Traveloka sebagai contoh. Saat Traveloka memasuki bisnis online travel agent (OTA), start-up ini harus menghadapi perusahaan travel berskala nasional seperti Dwidaya Tour. Dwidaya Tour sendiri memiliki sumber daya yang cukup untuk membuat dan menjalankan bisnis OTA. Bahkan Dwidaya Tour lebih dulu memasuki bisnis OTA dengan mendirikan Ezytravel pada tahun 2008 –yang ditutup pada tahun 2009 sebelum dibuka kembali pada tahun 2011; jauh sebelum Traveloka berdiri di tahun 2012. Meski memiliki keunggulan sumber daya dan jaringan, tetapi elemen proses dan nilai Ezytravel yang kebanyakan masih diturunkan dari bisnis travel konvensional ala Dwidaya Tour membuatnya tampak kikuk ketika dibandingkan dengan Traveloka. Secara proses, Traveloka yang konsisten berevolusi untuk menciptakan user interface terbaik bagi konsumen (termasuk mobile apps) serta melakukan pemasaran melalui kombinasi media digital dan konvensional membuat Ezytravel keteteran. Secara nilai, Ezytravel yang terpaku nilai travel agent konvensional masih memprioritaskan promo murah sebagai ujung tombak pemasarannya; sementara Traveloka dengan leluasa mengeksplorasi aspek kecepatan, transparansi harga bahkan aspek emosional yang ternyata cukup diapresiasi konsumen Indonesia. Karena itulah Traveloka sekarang memimpin bisnis OTA sementara Ezytravel masih berjuang untuk merebut sisa-sisa market share.

Masih banyak contoh lain yang dapat diangkat seperti bagaimana Gojek merevolusi bisnis transportasi perkotaan dengan aplikasi smartphone meskipun perusahaan taksi Blue Bird telah meluncurkan aplikasi sejak tahun 2011. Intinya adalah, jika Anda ingin perusahaan konvensional Anda memiliki kesempatan dalam bersaing dengan perusahaan start-up, ciptakanlah proses dan nilai organisasi yang sesuai dengan lingkungan bisnis era digital.

Tidak ada komentar: