Minggu, 27 September 2015

Krisis Ekonomi dan Manajemen Bisnis Berkelanjutan

 

Dengan semakin mendekatnya nilai Dollar Amerika ke titik psikologis Rp 15.000, bayang-bayang krisis semakin terasa mendekati kita. Dalam waktu dekat -jika tren ini berlanjut- PHK besar-besaran akan terjadi, harga barang-barang akan semakin melonjak dan satu demi satu lembaga perbankan akan ambruk dengan tidak elegan. Singkatnya, krisis ekonomi akan membawa banyak sekali penderitaan. Tapi tahukah Anda bahwa krisis juga memberi ruang untuk bisnis yang lebih berkelanjutan (sustainable)?

Krisis ekonomi bagi perusahaan dapat diibaratkan seperti wabah pes di abad pertengahan. Mereka membunuh orang-orang yang lebih lemah dan menyisakan orang-orang yang lebih kuat, lebih bersih dan lebih beruntung. Dalam konteks bisnis, perusahaan-perusahaan dengan manajemen yang buruk akan tumbang sementara perusahaan dengan manajemen yang lebih baik akan bertahan. Perusahaan baik kemudian akan tumbuh lebih besar mengisi ruang-ruang yang ditinggalkan oleh perusahaan buruk; menciptakan lingkungan bisnis lebih baik yang bermanfaat bagi masyarakat.

Menariknya, definisi manajemen yang baik ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Norma bisnis modern yang dikarakterisasikan dengan profesionalisme, strukturisasi dan tanggung jawab terhadap pemegang saham justru lebih tidak tahan krisis. Profesionalisme membuat hubungan perusahaan dengan stakeholder semata bersifat teknis dan praktis -tanpa komitmen dan kepercayaan jangka panjang; strukturisasi membuat pengambilan keputusan lebih lama dan lebih tidak fleksibel; sementara tanggung jawab terhadap pemegang saham membuat perusahaan mengejar keuntungan jangka pendek yang lebih mudah terlihat dan lebih cepat memuaskan para pemegang saham. Ketika krisis menerpa, tiga hal ini menjadi kunci ketidakberlanjutan yang dijamin akan membunuh perusahaan dengan efisien.

Lalu manajemen bisnis seperti apa yang berkelanjutan? Perusahaan seperti apa yang akan tumbuh sementara perusahaan-perusahaan lain tumbang? Hasil survey konsultan bisnis global PwC pada tahun 2012 menunjukan hasil yang mengejutkan: perusahaan keluarga adalah model manajemen tahan krisis yang menjadi kunci keberlanjutan bisnis di abad 21 (artikel lengkap dapat dibaca di sini). Perusahaan keluarga sendiri pernah menjadi fenomena di tahun 1970-1980an ketika perusahaan-perusahaan keluarga dari Asia Timur tumbuh pesat di level internasional. Namun sejak saat itu model perusahaan keluarga dianggap ketinggalan jaman dan perusahaan-perusahaan didorong untuk mengadopsi sistem manajemen modern yang 'profesional' dan 'efisien'. Sungguh ironis melihat keadaan telah berbalik!

Rahasia dibalik ketahanan model manajemen perusahaan keluarga terhadap krisis dapat dikerucutkan menjadi tiga hal utama yang merupakan kebalikan dari karakter perusahaan modern, yaitu:
 
1. Hubungan Berbasis Kepercayaan

Manajemen modern memandang pegawai, penyuplai bahan baku dan distributor sebagai roda gigi yang membuat bisnis berjalan. Sebaliknya, perusahaan keluarga membangun hubungan dengan seluruh stakeholder-nya secara personal. Pendekatan ini menimbulkan kepercayaan, komitmen dan loyalitas; tiga modal penting saat krisis menerpa.

2. Kecepatan Pengambilan Keputusan

Saat krisis, pemimpin perusahaan keluarga dapat secara fleksibel mengambil kontrol dan mengendalikan perusahaan agar bergerak menjauhi badai. Keistimewaan ini tidak dimiliki oleh perusahaan 'modern' dengan struktur-strukturnya yang kaku. Ketika perusahaan keluarga tengah melesat melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap krisis, dewan direksi perusahaan 'modern' mungkin masih melakukan meeting-meeting panjang yang hasilnya tidak konklusif.

3. Perspektif Jangka Panjang

Tanpa pemegang saham yang meminta untuk segera dipuaskan, perusahaan keluarga dapat berinvestasi dalam aspek-aspek jangka panjang. Misalnya apabila perusahaan masih mengimpor bahan baku, manajemen dapat mengakuisisi sektor hulu sehingga ketergantungan terhadap impor berkurang. Bagi pemegang saham proses akuisisi ini kurang menarik karena biayanya besar dan keuntungannya sedikit; tetapi ketika nilai Dollar naik menembus atap, berkurangnya ketergantungan terhadap impor dapat menjadi faktor penentu keselamatan perusahaan.

Begitulah. Model manajemen perusahaan keluarga menawarkan perspektif yang berbeda -bahkan berkebalikan, dari model manajemen modern. Dengan bayangan krisis yang terus menggedor pintu, inilah saat yang tepat untuk meninjau perspektif perusahaan dan melakukan beberapa perubahan demi keberlanjutan.

Tidak ada komentar: