Tampilkan postingan dengan label Strategic Communication. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Strategic Communication. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 April 2015

(Tidak) Menyenangkan Klien Lewat Riset


Menurut Stephen King, dalam industri komunikasi strategis terkadang kita menggunakan riset seperti orang mabuk menggunakan lampu jalan, sebagai pegangan bukannya penerang.

Saat saya bekerja di industri Public Relation, indikator utama untuk mengukur efektivitas kegiatan kami adalah Advertising Value Equvalency –disingkat AVE. Hal ini sangat ironis, karena sejak kuliah kami sudah diajarkan bahwa AVE adalah metode pengukuran yang buruk. AVE menghitung sebuah publikasi dari nilainya sebagai iklan, sehingga indiktor yang diukur adalah dimensi ruang dan warna dari artikel yang muncul (difaktorisasikan dengan positif/negatifnya berita tersebut). AVE mengabaikan banyak aspek penting dari artikel seperti apakah ia enak dibaca, apakah ia menarik untuk dibaca, bagaimana brand dicitrakan dalam artikel tersebut, bagaimana respon audiens setelah membaca artikel tersebut, dan lain-lain. Satu-satunya alasan mengapa AVE tetap digunakan adalah karena hasilnya berbicara dalam bahasa yang klien mengerti: Rupiah!

Orientasi yang terlalu besar terhadap AVE memiliki dampak buruk yang menjalar. Konsultan PR terpaksa mengejar keluasan dimensi artikel, bukannya kedalaman publikasi. Tidak penting apakah publikasi yang muncul menarik atau tidak, akan dibaca atau tidak, memiliki news value atau tidak, karena yang penting muncul dulu. Akibatnya muncul simbiosis antara konsultan PR yang mengejar AVE dengan jurnalis pemburu amplop yang tulisannya tidak optimal. Ujung-ujungnya klien terbuai dengan nilai AVE yang konsisten berada di angka tinggi, sementara tujuan utama kegiatan PR berupa meningkatnya citra perusahaan di mata masyarakat bisa gagal tercapai karena rendahnya kualitas publikasi.

Kembali ke cerita awal tentang lampu jalan, efek destruktif dari AVE ini disebabkan karena riset digunakan sebagai pegangan (support), bukan sebagai penerang (illumination). Penggunaan AVE sebagai alat untuk ‘menunjukan pada klien bahwa kita berhasil’ mengaburkan pertanyaan evaluatif yang sebenarnya harus ditanyakan, yaitu ‘apakah kita berhasil meningkatkan citra perusahaan’. Hilangnya fungsi evaluatif inilah yang kemudian merusak proses seperti yang telah diilustrasikan.

Mental ‘pegangan bukan penerang’ ini tentu tidak eksklusif terjadi di bidang PR. Saya pernah menyaksikan seorang AE didorong untuk menyelesaikan sebuah survei yang cukup ekstensif dalam satu hari. Alasan atasannya adalah ‘yang penting ada grafik dulu di presentasi, agar klien melihat kita serius melakukan riset’. Bisa ditebak, hasil risetnya kacau dan strategi yang dibangun atas riset tersebut tidak kalah kacau.

Di kasus-kasus yang lebih serius, banyak ide kreatif brilian yang mati terbunuh akibat kesalahan penggunaan Pre-Test (menunjukan iklan pada sampel audiens sebelum peluncuran resmi, untuk melihat reaksi yang muncul). Stephen King selalu memandang rendah validitas pre-test. Menurut beliau dalam kondisi nyata audiens tidak mempelajari iklan, audiens hanya melihat iklan dan menampung ceceran informasinya secara bawah sadar. Dengan menanyakan reaksi pada sampel pre-test, maka mereka dipaksa untuk secara aktif berpikir tentang iklan tersebut –sebuah kondisi artifisial yang merusak esensi pre-test secara keseluruhan.

Di luar keberatan Stephen King, pre-test sering membawa lebih banyak masalah daripada solusi karena motivasi yang melandasinya adalah ‘agar marketing manager bisa lebih mudah meyakinkan BOD’ bukannya ‘untuk mengembangkan ide kreatif sehingga ia bisa lebih efektif dalam mencapai tujuan’. Akibatnya, banyak sekali ide kreatif yang gagal melewati pre-test hanya karena komentar-komentar tidak penting sampel yang sebenarnya tidak memiliki relevansi dengan efektivitas pesan.

Intinya, riset yang produktif harus dilandasi motivasi untuk meningkatkan efektivitas kegiatan, bukan untuk menyenangkan klien. Metode yang meragukan seperti AVE dan yang dihujat Stephen King seperti pre-testing sejatinya dapat memiliki manfaat apabila dilandasi motivasi yang tepat.

Jangan sampai kita mengikuti orang mabuk yang mencari kuncinya yang jatuh. Ia mencari di bawah lampu jalan, meskipun kuncinya jatuh di taman –karena di bawah lampu jalan dia dapat lebih mudah mencari. Meskipun patut dipahami bahwa klien yang menginvestasikan uang mereka selalu ingin hasil yang konkrit atau tidak ingin mengambil resiko, bukan berarti kita boleh meriset hal yang tidak tepat untuk memuaskan mereka.

Minggu, 12 April 2015

#AdaAqua, Ada Insight?


Salah satu pelajaran yang paling penting tentang komunikasi pemasaran yang pernah saya terima terjadi sekitar enam tahun yang lalu di kelas Komunikasi Pemasaran Terpadu. Saat itu entah bagaimana caranya, seorang dosen yang biasanya mengajar materi normatif tiba-tiba mempresentasikan materi Insight Mining dari Lowe. Dalam waktu sekitar 90 menit, dosen tersebut menjelaskan bahwa komunikasi pemasaran yang efektif harus berdasarkan pada consumer insight bukan pada fitur-fitur dari produk itu sendiri. Pesan yang disampaikan pada konsumen haruslah berupa apa yang dapat konsumen rasakan saat mengkonsumsi produk ini bukannya apa yang produk ini dapat lakukan.

Inti dari pelajaran tersebut memang sederhana, tapi pengaplikasiannya sangatlah penting. Dari pengalaman saya yang singkat di dunia profesional, tidak terhitung jumlah klien yang menuntut untuk mendaftarkan semua kelebihan produk mereka dalam pesan-pesan pemasaran. Celana dalam saya bisa ini, sabun saya bisa itu, mobil saya bisa jungkir balik, dan seterusnya. Gaya komunikasi seperti ini mungkin bisa berhasil di zaman Soekarno. Tapi di era modern dimana konsumen dibanjiri informasi tak terbatas tentang berbagai macam produk, termasuk produk kompetitor yang secara teknis kurang lebih spesifikasinya sama saja, gaya komunikasi semacam itu tidak akan berhasil.

Karena itulah pesan komunikasi pemasaran harus selalu berdasarkan pada insight.

Lalu apa itu insight? Definisi favorit saya datang dari Hawwin sekitar empat tahun yang lalu di kelas Riset Pemasaran. Menurut Hawwin, insight adalah the unseeable obviousness. Hal yang dirasakan dan disepakati kebenarannya oleh target konsumen, tetapi seringkali tidak diketahui baik oleh konsumen itu sendiri maupun oleh kita sebagai pemasar. Ketika sebuah pesan yang dibangun atas insight sampai pada target konsumen yang sesuai, akan muncul resonansi dan perasaan ‘wah iya nih’ yang kemudian bisa mengarah pada interest, desire dan action.

Salah satu iklan dengan insight yang pernah saya terima adalah iklan cetak tentang Lasik (operasi mata untuk mengurangi minus atu plus). Iklannya sederhana, hanya gambar tampak depan pemain basket remaja yang melakukan dunk dengan tulisan ‘bebaskan dirimu’. Iklan ini mungkin tidak akan memenangkan penghargaan kreatif manapun, tetapi ia langsung beresonansi dengan diri saya kala itu sebagai remaja berkacamata. Iklan ini membangkitkan keinginan terpendam bawah sadar saya untuk terlepas dari kutukan kacamata –untuk bebas bergerak seperti manusia keren.

Di balik brand yang mapan, pasti ada insight (baik karena sengaja atau tidak). Axe berdiri diatas keinginan bawah sadar pria agar wanita melakukan first move; Rexona berdiri diatas keinginan untuk selalu mengontrol situasi; dan banyak lagi.

Dari pemahaman tentang pentingnya insight ini, saya ingin membahas tentang kampanye #AdaAqua yang mulai bergulir sejak setahun-dua tahun yang lalu. Kampanye ini beberapa minggu yang lalu menjadi viral lewat iklan kreatif yang membandingkan Narji dan dengan seorang penyanyi tersohor. Pesannya sederhana, minumlah Aqua untuk meningkatkan fokus Anda.

Pertanyaannya, benarkah hal tersebut?

Melalui kampanye #AdaAqua, Aqua berusaha untuk menambahkan added value yang, saya prediksi, didorong semakin banyaknya kompetitor kuat (plus dari CEO yang terbutakan kesuksesan iklan-ikan direct Mizone, mungkin ya). Masalahnya, karena Aqua tidak melakukan perbaikan apapun dari segi produk, maka klaim added value mereka harus berdasarkan kenyataan yang sudah dirasakan oleh konsumen mereka (kita asumsikan target kampanye ini adalah konsumen yang sudah pernah meminum Aqua, karena mungkin tidak ada seorang pun yang belum pernah minum Aqua di negara ini). Dengan kata lain, dalam usaha membentuk persepsi Aqua = fokus, ‘minum Aqua bisa menambah fokus’ harus merupakan insight yang disetujui dan dirasakan oleh konsumen meskipun mungkin mereka tidak mengetahuinya secara sadar. Jika tidak, reaksi audiens yang muncul adalah “saya minum Aqua bertahun-tahun tapi tidak pernah sekalipun ia menambah fokus saya, kamu bohong”.

Saya sendiri minum Aqua saat haus, bukan saat saya kurang fokus. Karena menurut saya, sebagai target konsumen, Aqua hanya air biasa. Kalaupun minum air memang secara biologis bisa menambah fokus saya, maka tidak hanya Aqua yang bisa menambah fokus saya.


Tapi tentu saja, saya hanya mengobervasi fenomena ini dari sudut pandang saya. Mungkin agensi periklanan dan tim pemasaran Aqua, melalui riset-riset yang serius, berhasil membutikan kesahihan insight landasan kampanye ini (saya sempat bertanya pada seorang teman, yang setuju bahwa Aqua bisa menambah fokus). Yang pasti, kampanye #AdaAqua berbelok dari rute ‘kemurnian dari dalam’ yang selama beberapa dekade membuat Aqua selalu menjadi pilihan pertama, meskipun secara teknis ia dan kompetitornya sama-sama air biasa. Apakah ini belokan yang tepat? Pada akhirnya, hanya grafik volume penjualan yang bisa menjawab itu.  

Sabtu, 08 November 2014

Intern Copywriter Needed


Milestone Integrated Marketing is offering an internship program for copywriter position. As a copywriter intern, you will work with me to write tactical communication kit such as -but not limited to- print advertisement, television commercial, branding collateral (tagline, brand statement, etc), marketing collateral (company profile, website, etc). Occasionally you will also assist in strategic planning development, so basic skill in market research and competitor research is necessary. 

If you are a,

1. Girl
2. Currently majoring in communication or related field
3. Aspire to be a copywriter
4. Has no difficulty in expressing idea and brainstorming
5. Has practical writing skills
6. Can commit 3-4 months as Milestone intern
7. Has a decent English

Please send your CV and portfolio to salman.firdaus@milestone.co.id and hrd@milestone.co.id

In Milestone you will earn a lot of practical experience in working with clients from various industry. Our work environment is fun but challenging. So don't hesitate to apply fellas!

You can read more about Milestone here, http://milestone.co.id/