Salah satu pelajaran yang paling
penting tentang komunikasi pemasaran yang pernah saya terima terjadi sekitar
enam tahun yang lalu di kelas Komunikasi Pemasaran Terpadu. Saat itu entah
bagaimana caranya, seorang dosen yang biasanya mengajar materi normatif
tiba-tiba mempresentasikan materi Insight Mining dari Lowe. Dalam waktu sekitar
90 menit, dosen tersebut menjelaskan bahwa komunikasi pemasaran yang efektif
harus berdasarkan pada consumer insight bukan
pada fitur-fitur dari produk itu sendiri. Pesan yang disampaikan pada konsumen
haruslah berupa apa yang dapat konsumen
rasakan saat mengkonsumsi produk ini bukannya apa yang produk ini dapat lakukan.
Inti dari pelajaran tersebut
memang sederhana, tapi pengaplikasiannya sangatlah penting. Dari pengalaman
saya yang singkat di dunia profesional, tidak terhitung jumlah klien yang
menuntut untuk mendaftarkan semua kelebihan produk mereka dalam pesan-pesan
pemasaran. Celana dalam saya bisa ini, sabun saya bisa itu, mobil saya bisa
jungkir balik, dan seterusnya. Gaya komunikasi seperti ini mungkin bisa
berhasil di zaman Soekarno. Tapi di era modern dimana konsumen dibanjiri
informasi tak terbatas tentang berbagai macam produk, termasuk produk
kompetitor yang secara teknis kurang lebih spesifikasinya sama saja, gaya
komunikasi semacam itu tidak akan berhasil.
Karena itulah pesan komunikasi
pemasaran harus selalu berdasarkan pada insight.
Lalu apa itu insight? Definisi favorit saya datang dari Hawwin sekitar empat
tahun yang lalu di kelas Riset Pemasaran. Menurut Hawwin, insight adalah the unseeable
obviousness. Hal yang dirasakan dan disepakati kebenarannya oleh target
konsumen, tetapi seringkali tidak diketahui baik oleh konsumen itu sendiri
maupun oleh kita sebagai pemasar. Ketika sebuah pesan yang dibangun atas insight sampai pada target konsumen yang
sesuai, akan muncul resonansi dan
perasaan ‘wah iya nih’ yang kemudian bisa mengarah pada interest, desire dan action.
Salah satu iklan dengan insight yang pernah saya terima adalah
iklan cetak tentang Lasik (operasi mata untuk mengurangi minus atu plus).
Iklannya sederhana, hanya gambar tampak depan pemain basket remaja yang
melakukan dunk dengan tulisan ‘bebaskan
dirimu’. Iklan ini mungkin tidak akan memenangkan penghargaan kreatif manapun,
tetapi ia langsung beresonansi dengan diri saya kala itu sebagai remaja
berkacamata. Iklan ini membangkitkan keinginan terpendam bawah sadar saya untuk
terlepas dari kutukan kacamata –untuk bebas bergerak seperti manusia keren.
Di balik brand yang mapan, pasti ada insight
(baik karena sengaja atau tidak). Axe
berdiri diatas keinginan bawah sadar pria agar wanita melakukan first move; Rexona berdiri diatas keinginan
untuk selalu mengontrol situasi; dan banyak lagi.
Dari pemahaman tentang pentingnya
insight ini, saya ingin membahas
tentang kampanye #AdaAqua yang mulai bergulir sejak setahun-dua tahun yang
lalu. Kampanye ini beberapa minggu yang lalu menjadi viral lewat iklan kreatif
yang membandingkan Narji dan dengan seorang penyanyi tersohor. Pesannya
sederhana, minumlah Aqua untuk meningkatkan fokus Anda.
Pertanyaannya, benarkah hal
tersebut?
Melalui kampanye #AdaAqua, Aqua
berusaha untuk menambahkan added value yang,
saya prediksi, didorong semakin banyaknya kompetitor kuat (plus dari CEO yang terbutakan
kesuksesan iklan-ikan direct Mizone,
mungkin ya). Masalahnya, karena Aqua tidak melakukan perbaikan apapun dari segi
produk, maka klaim added value mereka
harus berdasarkan kenyataan yang sudah dirasakan oleh konsumen mereka (kita
asumsikan target kampanye ini adalah konsumen yang sudah pernah meminum Aqua,
karena mungkin tidak ada seorang pun yang belum pernah minum Aqua di negara
ini). Dengan kata lain, dalam usaha membentuk persepsi Aqua = fokus, ‘minum
Aqua bisa menambah fokus’ harus merupakan insight
yang disetujui dan dirasakan oleh konsumen meskipun mungkin mereka tidak
mengetahuinya secara sadar. Jika tidak, reaksi audiens yang muncul adalah “saya
minum Aqua bertahun-tahun tapi tidak pernah sekalipun ia menambah fokus saya,
kamu bohong”.
Saya sendiri minum Aqua saat
haus, bukan saat saya kurang fokus. Karena menurut saya, sebagai target
konsumen, Aqua hanya air biasa. Kalaupun minum air memang secara biologis bisa
menambah fokus saya, maka tidak hanya Aqua yang bisa menambah fokus saya.
Tapi tentu saja, saya hanya
mengobervasi fenomena ini dari sudut pandang saya. Mungkin agensi periklanan
dan tim pemasaran Aqua, melalui riset-riset yang serius, berhasil membutikan
kesahihan insight landasan kampanye
ini (saya sempat bertanya pada seorang teman, yang setuju bahwa Aqua bisa
menambah fokus). Yang pasti, kampanye #AdaAqua berbelok dari rute ‘kemurnian
dari dalam’ yang selama beberapa dekade membuat Aqua selalu menjadi pilihan
pertama, meskipun secara teknis ia dan kompetitornya sama-sama air biasa.
Apakah ini belokan yang tepat? Pada akhirnya, hanya grafik volume penjualan
yang bisa menjawab itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar