Minggu, 12 April 2015

#AdaAqua, Ada Insight?


Salah satu pelajaran yang paling penting tentang komunikasi pemasaran yang pernah saya terima terjadi sekitar enam tahun yang lalu di kelas Komunikasi Pemasaran Terpadu. Saat itu entah bagaimana caranya, seorang dosen yang biasanya mengajar materi normatif tiba-tiba mempresentasikan materi Insight Mining dari Lowe. Dalam waktu sekitar 90 menit, dosen tersebut menjelaskan bahwa komunikasi pemasaran yang efektif harus berdasarkan pada consumer insight bukan pada fitur-fitur dari produk itu sendiri. Pesan yang disampaikan pada konsumen haruslah berupa apa yang dapat konsumen rasakan saat mengkonsumsi produk ini bukannya apa yang produk ini dapat lakukan.

Inti dari pelajaran tersebut memang sederhana, tapi pengaplikasiannya sangatlah penting. Dari pengalaman saya yang singkat di dunia profesional, tidak terhitung jumlah klien yang menuntut untuk mendaftarkan semua kelebihan produk mereka dalam pesan-pesan pemasaran. Celana dalam saya bisa ini, sabun saya bisa itu, mobil saya bisa jungkir balik, dan seterusnya. Gaya komunikasi seperti ini mungkin bisa berhasil di zaman Soekarno. Tapi di era modern dimana konsumen dibanjiri informasi tak terbatas tentang berbagai macam produk, termasuk produk kompetitor yang secara teknis kurang lebih spesifikasinya sama saja, gaya komunikasi semacam itu tidak akan berhasil.

Karena itulah pesan komunikasi pemasaran harus selalu berdasarkan pada insight.

Lalu apa itu insight? Definisi favorit saya datang dari Hawwin sekitar empat tahun yang lalu di kelas Riset Pemasaran. Menurut Hawwin, insight adalah the unseeable obviousness. Hal yang dirasakan dan disepakati kebenarannya oleh target konsumen, tetapi seringkali tidak diketahui baik oleh konsumen itu sendiri maupun oleh kita sebagai pemasar. Ketika sebuah pesan yang dibangun atas insight sampai pada target konsumen yang sesuai, akan muncul resonansi dan perasaan ‘wah iya nih’ yang kemudian bisa mengarah pada interest, desire dan action.

Salah satu iklan dengan insight yang pernah saya terima adalah iklan cetak tentang Lasik (operasi mata untuk mengurangi minus atu plus). Iklannya sederhana, hanya gambar tampak depan pemain basket remaja yang melakukan dunk dengan tulisan ‘bebaskan dirimu’. Iklan ini mungkin tidak akan memenangkan penghargaan kreatif manapun, tetapi ia langsung beresonansi dengan diri saya kala itu sebagai remaja berkacamata. Iklan ini membangkitkan keinginan terpendam bawah sadar saya untuk terlepas dari kutukan kacamata –untuk bebas bergerak seperti manusia keren.

Di balik brand yang mapan, pasti ada insight (baik karena sengaja atau tidak). Axe berdiri diatas keinginan bawah sadar pria agar wanita melakukan first move; Rexona berdiri diatas keinginan untuk selalu mengontrol situasi; dan banyak lagi.

Dari pemahaman tentang pentingnya insight ini, saya ingin membahas tentang kampanye #AdaAqua yang mulai bergulir sejak setahun-dua tahun yang lalu. Kampanye ini beberapa minggu yang lalu menjadi viral lewat iklan kreatif yang membandingkan Narji dan dengan seorang penyanyi tersohor. Pesannya sederhana, minumlah Aqua untuk meningkatkan fokus Anda.

Pertanyaannya, benarkah hal tersebut?

Melalui kampanye #AdaAqua, Aqua berusaha untuk menambahkan added value yang, saya prediksi, didorong semakin banyaknya kompetitor kuat (plus dari CEO yang terbutakan kesuksesan iklan-ikan direct Mizone, mungkin ya). Masalahnya, karena Aqua tidak melakukan perbaikan apapun dari segi produk, maka klaim added value mereka harus berdasarkan kenyataan yang sudah dirasakan oleh konsumen mereka (kita asumsikan target kampanye ini adalah konsumen yang sudah pernah meminum Aqua, karena mungkin tidak ada seorang pun yang belum pernah minum Aqua di negara ini). Dengan kata lain, dalam usaha membentuk persepsi Aqua = fokus, ‘minum Aqua bisa menambah fokus’ harus merupakan insight yang disetujui dan dirasakan oleh konsumen meskipun mungkin mereka tidak mengetahuinya secara sadar. Jika tidak, reaksi audiens yang muncul adalah “saya minum Aqua bertahun-tahun tapi tidak pernah sekalipun ia menambah fokus saya, kamu bohong”.

Saya sendiri minum Aqua saat haus, bukan saat saya kurang fokus. Karena menurut saya, sebagai target konsumen, Aqua hanya air biasa. Kalaupun minum air memang secara biologis bisa menambah fokus saya, maka tidak hanya Aqua yang bisa menambah fokus saya.


Tapi tentu saja, saya hanya mengobervasi fenomena ini dari sudut pandang saya. Mungkin agensi periklanan dan tim pemasaran Aqua, melalui riset-riset yang serius, berhasil membutikan kesahihan insight landasan kampanye ini (saya sempat bertanya pada seorang teman, yang setuju bahwa Aqua bisa menambah fokus). Yang pasti, kampanye #AdaAqua berbelok dari rute ‘kemurnian dari dalam’ yang selama beberapa dekade membuat Aqua selalu menjadi pilihan pertama, meskipun secara teknis ia dan kompetitornya sama-sama air biasa. Apakah ini belokan yang tepat? Pada akhirnya, hanya grafik volume penjualan yang bisa menjawab itu.  

Tidak ada komentar: