Beberapa minggu
yang lalu Indonesia kehilangan salah satu ikon bisnis yang paling terkenal.
Saat satu lini masa berduka, saya justru sedikit terkejut dengan sedikitnya hal
yang saya ketahui tentang figur ini. Bahkan pengetahuan saya mengenai beliau
bisa ditulis dalam satu kalimat sederhana, “Bob Sadino adalah pengusaha sukses
di bidang agrikultur yang selalu mengenakan celana pendek,”. Sekian.
Untungnya saya
tidak perlu bersusah-susah, di minggu kematiannya manusia-manusia di alam maya
dengan antusias membagi filosofi-filosofi Bob Sadino semasa dia hidup. Sebagian
besar bukan hal yang baru tentunya, tapi saya baru benar-benar memperhatikan
kali ini. Ternyata satu tema besar yang dipercayai Bob dengan gigih adalah bahwa
pendidikan sama sekali tidak penting bagi kesuksesan. “Biarpun goblok, kalau
usaha pasti bisa sukses,” ujarnya. Pendidikan, terkadang juga modal, tidak
terlalu penting. Bahkan kadang-kadang Bob menyindir kalangan profesional,
orang-orang yang menggunakan pendidikannya untuk bekerja pada orang lain.
“Bangun pagi, macet-macetan di jalan, pulang malam. Itu kerja atau dikerjain?”
sentilnya jenaka.
Filosofi Bob ini
tentu ada benarnya. Anjurannya tentang keberanian untuk membuka usaha, untuk
bertindak dan bekerja keras –bukannya tunduk seperti anak bebek untuk
kemakmuran orang lain, benar-benar dapat dijadikan inspirasi. Tapi apakah benar
pendidikan itu tidak penting? Apakah gaya ‘biar goblok, asal usaha’ layak
dicontoh? Menurut saya tidak.
Untuk memahami
filosofi Bob dan membongkar kelemahannya, kita harus terlebih dahulu mengenal
Bob Sadino lebih dalam. Menurut halaman wikipedia, Bob Sadino berasal dari
keluarga kaya yang memiliki lingkup internasional. Ketika orang tuanya
meninggal, Bob mewarisi seluruh harta mereka karena kakak-kakaknya yang lain
sudah sukses sendiri-sendiri. Muda dan digelimangi harta, Bob kemudian
melakukan perjalanan keliling dunia sampai hartanya hampir habis.
Sempat bermukim di Den Haag, Bob memutuskan kembali
ke Indonesia dengan membawa dua mobil mewah sebagai modal. Satu mobilnya dijual
untuk membeli rumah dan satunya lagi dia sewakan (dikemudikan langsung oleh
Bob, setelah dia berhenti kerja di Unilever karena tidak betah). Sial bagi Bob,
dia mengalami kecelakaan dan mobilnya rusak total. Di titik inilah Bob jatuh
sedalam-dalamnya. Sampai-sampai ia harus bekerja sebagai tukang bangunan untuk
menyambung hidup, karena ia masih ngotot tidak mau bekerja untuk orang lain.
Hari-hari yang
berat ini terus berlangsung sampai tangan malaikat menyelamatkannya. Iba
melihat Bob yang depresi, salah satu kawan lamanya mengenalkannya pada bisnis
telur ayam negeri –sesuatu yang masih baru waktu itu. Bob kemudian bangkit,
menjual telur ayam pada relasi ekspatriatnya, mengembangkan sayapnya lewat
usaha keras sampai-sampai ia bisa mendirikan Kemchick dan menjadi salah satu
pengusaha tersukses di Indonesia.
Dari kisah hidup
ini, kita bisa melihat darimana filosofi-filosofi ‘goblok’ Bob berasal. Bob
melihat bahwa kesuksesannya –yang tanpa ilmu & tanpa modal , berasal semata
dari kerja kerasnya (yang memang patut diteladani). Tetapi beliau abai melihat
pengaruh relasi dan statusnya di masa lalu. Padahal, tanpa teman yang bisa
memfasilitasinya pada bisnis telur ayam negeri dan relasi ekspatriatnya, belum
tentu Bob muda bisa menjadi Bob yang sekarang.
Disinilah, menurut
saya, letak kesalahan filosofi ‘goblok’. Bagi mayoritas kita yang tidak
memiliki previlege Bob, pendidikan
sangatlah penting untuk menunjang kesuksesan. Orang-orang ‘goblok’ dengan previlege pada akhirnya memang akan
lebih mempekerjakan orang pintar dan berakhir lebih sejahtera, tetapi
pendidikan dan ilmu dapat membuka pintu-pintu lain yang tidak bisa dilalui
orang-orang ‘goblok’. Asalkan, seperti kata Bob Sadino, kita mau berusaha lebih
keras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar