Jumat, 20 Februari 2015

Menentang Filosofi ‘Goblok’ Bob Sadino

Beberapa minggu yang lalu Indonesia kehilangan salah satu ikon bisnis yang paling terkenal. Saat satu lini masa berduka, saya justru sedikit terkejut dengan sedikitnya hal yang saya ketahui tentang figur ini. Bahkan pengetahuan saya mengenai beliau bisa ditulis dalam satu kalimat sederhana, “Bob Sadino adalah pengusaha sukses di bidang agrikultur yang selalu mengenakan celana pendek,”. Sekian.

Untungnya saya tidak perlu bersusah-susah, di minggu kematiannya manusia-manusia di alam maya dengan antusias membagi filosofi-filosofi Bob Sadino semasa dia hidup. Sebagian besar bukan hal yang baru tentunya, tapi saya baru benar-benar memperhatikan kali ini. Ternyata satu tema besar yang dipercayai Bob dengan gigih adalah bahwa pendidikan sama sekali tidak penting bagi kesuksesan. “Biarpun goblok, kalau usaha pasti bisa sukses,” ujarnya. Pendidikan, terkadang juga modal, tidak terlalu penting. Bahkan kadang-kadang Bob menyindir kalangan profesional, orang-orang yang menggunakan pendidikannya untuk bekerja pada orang lain. “Bangun pagi, macet-macetan di jalan, pulang malam. Itu kerja atau dikerjain?” sentilnya jenaka.

Filosofi Bob ini tentu ada benarnya. Anjurannya tentang keberanian untuk membuka usaha, untuk bertindak dan bekerja keras –bukannya tunduk seperti anak bebek untuk kemakmuran orang lain, benar-benar dapat dijadikan inspirasi. Tapi apakah benar pendidikan itu tidak penting? Apakah gaya ‘biar goblok, asal usaha’ layak dicontoh? Menurut saya tidak.

Untuk memahami filosofi Bob dan membongkar kelemahannya, kita harus terlebih dahulu mengenal Bob Sadino lebih dalam. Menurut halaman wikipedia, Bob Sadino berasal dari keluarga kaya yang memiliki lingkup internasional. Ketika orang tuanya meninggal, Bob mewarisi seluruh harta mereka karena kakak-kakaknya yang lain sudah sukses sendiri-sendiri. Muda dan digelimangi harta, Bob kemudian melakukan perjalanan keliling dunia sampai hartanya hampir habis.

Sempat  bermukim di Den Haag, Bob memutuskan kembali ke Indonesia dengan membawa dua mobil mewah sebagai modal. Satu mobilnya dijual untuk membeli rumah dan satunya lagi dia sewakan (dikemudikan langsung oleh Bob, setelah dia berhenti kerja di Unilever karena tidak betah). Sial bagi Bob, dia mengalami kecelakaan dan mobilnya rusak total. Di titik inilah Bob jatuh sedalam-dalamnya. Sampai-sampai ia harus bekerja sebagai tukang bangunan untuk menyambung hidup, karena ia masih ngotot tidak mau bekerja untuk orang lain.

Hari-hari yang berat ini terus berlangsung sampai tangan malaikat menyelamatkannya. Iba melihat Bob yang depresi, salah satu kawan lamanya mengenalkannya pada bisnis telur ayam negeri –sesuatu yang masih baru waktu itu. Bob kemudian bangkit, menjual telur ayam pada relasi ekspatriatnya, mengembangkan sayapnya lewat usaha keras sampai-sampai ia bisa mendirikan Kemchick dan menjadi salah satu pengusaha tersukses di Indonesia.

Dari kisah hidup ini, kita bisa melihat darimana filosofi-filosofi ‘goblok’ Bob berasal. Bob melihat bahwa kesuksesannya –yang tanpa ilmu & tanpa modal , berasal semata dari kerja kerasnya (yang memang patut diteladani). Tetapi beliau abai melihat pengaruh relasi dan statusnya di masa lalu. Padahal, tanpa teman yang bisa memfasilitasinya pada bisnis telur ayam negeri dan relasi ekspatriatnya, belum tentu Bob muda bisa menjadi Bob yang sekarang.

Disinilah, menurut saya, letak kesalahan filosofi ‘goblok’. Bagi mayoritas kita yang tidak memiliki previlege Bob, pendidikan sangatlah penting untuk menunjang kesuksesan. Orang-orang ‘goblok’ dengan previlege pada akhirnya memang akan lebih mempekerjakan orang pintar dan berakhir lebih sejahtera, tetapi pendidikan dan ilmu dapat membuka pintu-pintu lain yang tidak bisa dilalui orang-orang ‘goblok’. Asalkan, seperti kata Bob Sadino, kita mau berusaha lebih keras.

Tidak ada komentar: