Sabtu, 27 Mei 2017

Green Canyon, Ngarai Hijau tanpa Nilai Merah

Dok: Eli

Selama dua belas jam, kami duduk berdesakan di sebuah minibus berukuran sedang. Jalan terus berkelok dan semakin lama semakin mengecil, tapi hanya sedikit sekali jalan rusak. Saat kami tiba di meeting point untuk Body Rafting, dari dua puluh penumpang, hanya satu yang mengalami mual cukup parah. Hal ini membuat kami agak lupa bahwa kami sedang menyusuri wilayah pedalaman Jawa Barat, dimana jalan rusak biasanya lebih merupakan norma daripada pengecualian.

Meeting point itu berupa sebuah lapangan yang tidak terlalu luas, yang disesaki oleh mobil bak, minibus, hingga bus besar yang sedang parkir. Suasana tidak terlalu riuh, tapi disana-sini berbagai kelompok kecil yang terpisah terlihat sibuk mempersiapkan diri untuk melakukan body rafting seperti kami. Disini, kami disambut oleh sarapan nasi goreng dan teh manis yang disajikan di sebuah warung makan kecil. Kami diharapkan tiba pukul tujuh, sementara saat itu sudah jam sembilan. Tak ayal nasi goreng kami sudah dingin. Tapi setelah dua belas jam kelaparan dan kedinginan di perjalanan, nasi goreng itu terasa cukup lezat.

Saya sendiri pernah kesini sebelumnya. Sepuluh tahun yang lalu, saat Aher memenangkan kursi gubernur Jawa Barat. Salah seorang petinggi di kantor orang tua saya merupakan bagian dari tim sukses Aher dan dia merayakan kemenangannya dengan menyewa dua bus ke Pangandaran. Kala itu, Green Canyon adalah sajian sampingan, sementara pantai Pangandaran adalah menu utamanya. Di Green Canyon, kita hanya bisa menyewa perahu untuk menyusuri sungai hingga berlabuh di mulut sebuah gua. Pemandangannya indah, tapi pengalamannya tidak istimewa. Sepuluh tahun kemudian, sungguh menakjubkan bagaimana Green Canyon telah berubah.

Setelah makan, kami dibagikan perlengkapan keselamatan seperti pelampung, helm, sepatu khusus dan karet untuk mengikat kacamata. Lalu kami naik di mobil bak dan dikirim ke sebuah titik yang lebih tinggi. Dari titik ini, kami berjalan sekitar 15 menit ke bibir sungai. Di belakang kami, ada mulut gua yang cukup besar. Penduduk lokal menyebutnya gua bau, karena gua ini merupakan tempat tinggal ribuan kelelawar yang dari tahun ke tahun melapisi lantai gua dengan kotoran mereka. Untungnya, baunya tidak sampai ke mulut gua. Di depan gua ini, para pemandu sekali lagi menjelaskan tata tertib serta paduan keamanan. Seperti biasa, salah satu aturan keras adalah dilarang menyepelekan atau merendahkan alam meskipun hanya bercanda. Kami paham. Bagaimanapun, pernah ada wisatawan yang meninggal di daerah ini. Kewaspadaan harus selalu diutamakan. Lalu kami diberi pilihan. Mau masuk ke sungai lewat tepian, atau loncat dari tebing setinggi 3 meter?

Dok: Eli

Saya jarang melakukan riset saat hendak liburan. Prinsipnya, semakin sedikit yang saya tahu sebelum berangkat, semakin banyak yang saya alami saat di tempat. Bahkan saat saya melompat dari tebing, saya masih tidak tahu apa sebenarnya yang ditawarkan oleh body rafting. Gambaran saya adalah perjalanan yang sama persis dengan sepuluh tahun yang lalu, tapi tanpa perahu. Benak dan tubuh saya mengharapkan sebuah perjalanan yang tenang dan damai, dimana arus-lah yang mengerjakan sebagian besar pekerjaan. Namun, saat arus terasa semakin deras, membawa tubuh-tubuh berpelampung kami melalui rute yang akan kami tempuh, barulah saya sadar betapa salahnya anggapan ini.

Ektrim tapi aman. Penuh resiko mematikan, tetapi masih dapat dilalui oleh anak berumur 6 tahun (dengan bantuan). Itulah kiranya gambaran yang tepat untuk perjalanan body rafting ini. Selama empat jam, kami dibawa menghadapi jeram-jeram deras dimana kualitas helm kami benar-benar diuji. Lalu saat jeramnya terlalu deras dan bebatuannya terlalu ceram, kami diarahkan keluar sungai untuk merayap di ngarai-ngarai tepian sungai. Ditengah-tengah, ada beberapa tebing tempat melompat. Dari yang setinggi tiga meter seperti diawal, hingga tebing setinggi tujuh meter yang mengharuskan kami untuk berlari sebelum meloncat untuk menghindari bibir tebing yang menonjol. Sebelum setiap titik yang agak sulit, para pemandu selalu memberikan tips tentang apa yang harus dilakukan. Lucunya, apabila salah satu dari kami gagal mengikuti instruksi secara sempurna dan menabrak bebatuan, maka para pemandu itu akan meringis bersama kami yang dibelakang sambil bergumam, "itu sakit pasti,".

Semakin jauh kami bertualang, semakin terasa betapa hebatnya para arsitek di balik paket body rafting ini. Dari dua anak sungai berbentuk ngarai yang mengalir di wilayah pedalaman, saya membayangkan para arsitek ini berkali-kali bereksperimen di sepanjang sungai demi mendesain paket yang paling tepat untuk dijual kepada masyarakat. Dimana harus meloncat, dimana harus memanjat, dimana harus menyelam. Bagaimana gerakan arus, titik mana yang perlu dijaga. Semua sudah terpetakan dengan baik, sehingga pelancong seperti kami hanya tinggal menikmati sensasinya dengan resiko yang telah diminimalisir dengan cerdas.

Pinjem fotonya ya, mbak.

Usaha para arsitek ini juga didukung oleh aktor-aktor dalam sektor pendukung. Mulai dari kondisi akses jalanan yang sempat saya ulas diawal, hingga akomodasi seperti homestay (yang sangat bagus, mengingat harga yang kami bayar tidak terlalu mahal), pengantaran dan makanan, semuanya dikelola dengan cukup baik. Tidak ada komplain apapun selama kami disana. Plus, cukup terasa bahwa kegiatan pariwisata di Green Canyon sangat memberdayakan masyarakat lokal. Dan nyaris semua orang yang kami temui, mulai dari penyaji makanan di warung, supir, pemandu, hingga warga lokal merasa senang berinteraksi dengan kami -sebuah sinyal yang menandakan rendahnya asimetri distribusi hasil pariwisata.

Kalaupun boleh ada catatan, mungkin objek wisata lain selain green canyon juga perlu lebih dipoles. Ada dua pantai yang kami datangi, salah satunya pantai batu hiu. Pantai ini sebenarnya indah, dengan tebing besar yang disulap menjadi semacam taman yang teduh. Namun setelah pengalaman melakukan body rafting yang luar biasa, panai-pantai ini menjadi terasa sangat biasa. Mungkin giliran arsitek generasi selanjutnya untuk lebih mengeksplorasi pesona alam lain di Pangandaran dan mengemasnya menjadi pengalaman tak terlupakan bagi para wisatawan.

Kamis, 11 Mei 2017

Ironi Pulau Pari


Setelah nyaris tiga jam perjalanan, kapal penumpang sederhana yang kami tumpangi akhirnya berlabuh di Pulau Pari. Beberapa dari kami masih basah, karena di tengah perjalanan tadi hujan sempat mengguyur penumpang di kabin atas yang tak terlindungi oleh atap yang layak. Tapi semuanya terlihat segar. Tidak ada satu pun, bahkan anak-anak, yang mabuk laut. Perjalanan ini memang tidak cantik, tapi efisien. Dan bagi kebanyakan penumpang di kapal ini, hal itu sudah cukup.

Kami menjejakkan kaki di dermaga dan diarahkan menuju homestay. Penyedia tur menjanjikan homestay menarik di pinggir pantai, tapi homestay yang kami tempati berada di tengah perkampungan -menempel langsung ke rumah pemiliknya seperti kos-kosan. Homestay itu nyaman dan bersih, dengan dua kamar mandi sempit yang tidak bisa dikunci serta tanpa ruang tengah untuk bercengkrama. Homestay ini tak lebih dari sekedar ruang tidur.

Akomodasi yang serba efisien ini, yang sengaja kami pilih untuk menghemat biaya, tidak sedikit pun mengurangi pesona pulau pari. Kami menggunakan perahu nelayan untuk melakukan snorkeling di beberapa spot yang kelabu. Tidak ada terumbu kerang berwarna-warni, dan beberapa titik masih dihidupi oleh bulu babi. Namun ada ratusan ikan jinak yang mengajak menari, dan sekali lagi itu cukup. Ada tiga pantai yang menarik, dimana kita bisa melihat matahari terbit dan terbenam, mencari bintang laut, atau sekedar berenang diantara hutan-hutan bakau. Kala itu sedang long weekend, tapi tidak sedetik pun pulau ini terasa terlalu sesak untuk dinikmati.


Bagaimanapun, pulau seribu adalah bagian dari Jakarta. Dan sama seperti Jakarta, perlu usaha keras untuk mengabaikan celah-celah masalah yang menganga. Baru enam jam kami mengenal pulau ini, saat sedikit demi sedikit pulau yang indah ini memperlihatkan betapa tidak berkelanjutannya pengelolaan wisata disini.

Kala itu kami tengah berjalan menuju tempat menikmati matahari terbenam. Cuaca berawan, matahari hampir pasti tidak kelihatan, tapi toh kami hanya punya sehari liburan. Ada anjungan panjang yang menjorok ke laut, dimana kita bisa duduk dan menyaksikan senja. "Dulu ini dermaga Pulau Pari, sekarang rusak," kata pemandu kami. Kenapa rusak? Ada pulau buatan disitu, kata sang pemandu sambil menunjuk pulau dengan deretan villa yang tengah dibangun, dimana di setiap villa terparkir speedboat. Pulau buatan itu merubah pola arus di sekitarnya, membuat sang dermaga tergerogoti, hanya menyisakan anjungan panjang yang retak disana-sini, tempat kami duduk. Sama-sama orang Indonesia, sama-sama paham, tidak ada yang perlu bertanya apakah pembangunan pulau itu berizin atau dicek dahulu dampaknya terhadap lingkungan.

Anjungan di pantai itu memiliki dua sisi, di satu sisi ada pantai bakau yang luas. Di sisi lain, hanya ada sampah. Kenapa tidak ada yang membersihkan? "Pengelolaan wisata di sini masih jadi sengketa," ujar sang pemandu. Baru beberapa minggu yang lalu, teman sang pemandu diciduk oleh aparat karena dianggap mengambil retribusi liar di salah satu pantai. Itu bukan pungutan liar, kata sang pemandu. Pantai itu dikelola swadaya oleh masyarakat sejak dulu, sampai tiba-tiba ada perusahaan yang mengklaim kepemilikannya -dan kepemilikan seluruh tempat wisata pulau pari. Perusahaan itu, sang pemandu hanya menyebutnya sebagai "PT", terus berusaha merebut pulau pari dari masyarakat. Bahkan saat ini untuk mengganti genting rumah pun masyarakat diharuskan untuk melapor dulu ke PT, ceritanya getir.


Esok paginya kami pergi ke Pantai Perawan, pantai terindah yang mengambil peran sebagai krim diatas krim di Pulau Pari. Dengan pasirnya yang putih, airnya yang tenang, dan pulau-pulau bakau kecil yang tersebar ditepian, pantai ini sangatlah cantik. Kami berenang agak jauh meninggalkan pantai utama yang ramai ke pulau bakau yang lebih kecil. Hanya ada kami disitu. Semua terasa indah dan alami, sampai kami melihat mesin penyedot pasir yang sedang tidak berfungsi. Mesin itu berukuran sedang dan terlihat jelas rakitan tangan. Ditanya tentang hal ini, sang pemandu menjelaskan dengan santai "itu untuk membentuk lanskap pantai ini."

Ada ironi yang menyengat tentang pergi dari Jakarta untuk beristirahat dari dinamika urban yang artifisial, untuk kemudian disuguhi sebuah pantai cantik yang ternyata lebih artifisial dari banyak hal di Jakarta. Sekali lagi, kami hanya bisa bertanya-tanya tentang dampak reklamasi kecil-kecilan ini terhadap habitat alami di Pulau ini. Pulau-pulau buatan di Pantai Perawan memang ditanami bakau-bakau yang kelak mungkin akan menjadi ekosistem yang sehat lagi. Tapi dalam jangka pendek, tak terbayang betapa banyaknya biota laut yang hilang karena rumah alaminya dirombak habis-habisan. Kata sang pemandu, dulu di Pulau Pari ada sekitar lima spesies bintang laut. Sekarang hanya ada tinggal satu.


Beberapa dari kami yang berkunjung ke Pulau Pari adalah bagian dari tim yang melakukan rebranding di Toraja. Jadi kami tidak benar-benar awam tentang pengelolaan wisata di Indonesia, terutama tentang betapa kecilnya perhatian para pemangku kepentingan terhadap keberlanjutan. Toraja adalah tempat wisata besar yang diperjuangkan oleh banyak aktor-aktor lokal yang visinya mengagumkan, meski kadang berbenturan satu sama lainnya. Tempat wisata lain yang sempat kami teliti, Tanjung Puting, juga dilindungi oleh banyak pemain lokal yang sadar akan pentingnya keberlanjutan. Aktor-aktor inilah yang tidak sempat kami lihat keberadaannya di Pulau Pari. Diantara persengeketaan sengit antara masyarakat dan PT, sepertinya tidak banyak ruang yang tersisa untuk memikirkan kelestarian lingkungan serta pengelolaan wisata yang dapat memberdayakan penduduk lokal.

Pulau Pari. Begitu dekat dengan Jakarta, tapi begitu jauh dari visi pariwisata negeri. Satu lagi ironi yang disuguhkan oleh Indonesia.

Senin, 01 Februari 2016

Feel Alive Yet?

Sekali lagi aku mengedarkan pandanganku, menikmati pernak-pernik berbau Tionghoa yang tersusun apik menghiasi restoran ini. Kekasihku berkali-kali mengutarakan keinginannya untuk mencoba tempat ini, tetapi belum pernah sekalipun keinginannya terpenuhi.

Pandanganku berhenti di gadis yang berada di sebelahku. Dia terlihat mengamati menu dengan serius, penuh tekad untuk menciptakan efisiensi Pareto antara harga dengan kenikmatan demi membuatku terkesan.

Seperti yang selalu ia lakukan sejak detik pertama aku melihatnya.

Rabu, 21 Oktober 2015

Tak Berdaya Melawan Start-Up: Alasan Bisnis Konvensional Selalu Kalah


Traveloka, Air B&B, Gojek, Lazada. Empat perusahaan start-up ini dapat dijuluki distruptive bussiness karena, selain memperkenalkan model bisnis baru yang digilai konsumen, mereka juga menggulung tatanan bisnis konvensional yang ada sebelumnya. Traveloka menggoyang bisnis travel agent di seluruh negeri; Air B&B dan Gojek membuat industri hotel dan transportasi dalam kota ketar-ketir; dan Lazada membantu membuat pusat perbelanjaan IT seperti Mangga Dua nyaris mati. Fenomena ini terbilang mengagumkan karena yang diganggu oleh bisnis-bisnis distruptif ini bukan hanya pemain kecil; pemimpin-pemimpin pasar yang selama beberapa dekade terakhir merajai hati konsumen pun seakan tidak berdaya menghadap para perusahaan start-up ini.

Fenomena ini tentu membuat kita bertanya-tanya. Apakah sih yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan start-up ini sehingga mereka begitu digdaya?

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dipahami bahwa ada tiga elemen utama yang menentukan kualitas suatu organisasi perusahaan. Tiga elemen tersebut adalah sumber daya, proses dan nilai. Sumber daya adalah aset yang dimiliki perusahaan seperti pekerja, teknologi, modal dan lain-lain. Proses adalah alur kerja baik formal seperti prosedur operasi standar maupun informal seperti pola komunikasi antar individu dan pola pengambilan keputusan. Terakhir, nilai dapat didefinisikan sebagai serangkaian sistem kepercayaan yang menentukan tingkat prioritas berbagai aspek dalam organisasi (misalnya ketika ada perbedaan pendapat, apakah lebih penting menjaga perasaan lawan atau memenangkan argumen? dll.). Di lapangan, perusahaan konvensional cenderung memiliki sumber daya yang lebih baik dibandingkan dengan start-up di awal. Tetapi proses dan nilai organisasi mereka tidak cocok dengan lingkungan bisnis era digital. Karena itulah di berbagai sektor bisnis perusahaan start-up dapat mengalahkan perusahaan konvensional dengan relatif mudah.

Mari kita ambil Traveloka sebagai contoh. Saat Traveloka memasuki bisnis online travel agent (OTA), start-up ini harus menghadapi perusahaan travel berskala nasional seperti Dwidaya Tour. Dwidaya Tour sendiri memiliki sumber daya yang cukup untuk membuat dan menjalankan bisnis OTA. Bahkan Dwidaya Tour lebih dulu memasuki bisnis OTA dengan mendirikan Ezytravel pada tahun 2008 –yang ditutup pada tahun 2009 sebelum dibuka kembali pada tahun 2011; jauh sebelum Traveloka berdiri di tahun 2012. Meski memiliki keunggulan sumber daya dan jaringan, tetapi elemen proses dan nilai Ezytravel yang kebanyakan masih diturunkan dari bisnis travel konvensional ala Dwidaya Tour membuatnya tampak kikuk ketika dibandingkan dengan Traveloka. Secara proses, Traveloka yang konsisten berevolusi untuk menciptakan user interface terbaik bagi konsumen (termasuk mobile apps) serta melakukan pemasaran melalui kombinasi media digital dan konvensional membuat Ezytravel keteteran. Secara nilai, Ezytravel yang terpaku nilai travel agent konvensional masih memprioritaskan promo murah sebagai ujung tombak pemasarannya; sementara Traveloka dengan leluasa mengeksplorasi aspek kecepatan, transparansi harga bahkan aspek emosional yang ternyata cukup diapresiasi konsumen Indonesia. Karena itulah Traveloka sekarang memimpin bisnis OTA sementara Ezytravel masih berjuang untuk merebut sisa-sisa market share.

Masih banyak contoh lain yang dapat diangkat seperti bagaimana Gojek merevolusi bisnis transportasi perkotaan dengan aplikasi smartphone meskipun perusahaan taksi Blue Bird telah meluncurkan aplikasi sejak tahun 2011. Intinya adalah, jika Anda ingin perusahaan konvensional Anda memiliki kesempatan dalam bersaing dengan perusahaan start-up, ciptakanlah proses dan nilai organisasi yang sesuai dengan lingkungan bisnis era digital.

Minggu, 27 September 2015

Krisis Ekonomi dan Manajemen Bisnis Berkelanjutan

 

Dengan semakin mendekatnya nilai Dollar Amerika ke titik psikologis Rp 15.000, bayang-bayang krisis semakin terasa mendekati kita. Dalam waktu dekat -jika tren ini berlanjut- PHK besar-besaran akan terjadi, harga barang-barang akan semakin melonjak dan satu demi satu lembaga perbankan akan ambruk dengan tidak elegan. Singkatnya, krisis ekonomi akan membawa banyak sekali penderitaan. Tapi tahukah Anda bahwa krisis juga memberi ruang untuk bisnis yang lebih berkelanjutan (sustainable)?

Krisis ekonomi bagi perusahaan dapat diibaratkan seperti wabah pes di abad pertengahan. Mereka membunuh orang-orang yang lebih lemah dan menyisakan orang-orang yang lebih kuat, lebih bersih dan lebih beruntung. Dalam konteks bisnis, perusahaan-perusahaan dengan manajemen yang buruk akan tumbang sementara perusahaan dengan manajemen yang lebih baik akan bertahan. Perusahaan baik kemudian akan tumbuh lebih besar mengisi ruang-ruang yang ditinggalkan oleh perusahaan buruk; menciptakan lingkungan bisnis lebih baik yang bermanfaat bagi masyarakat.

Menariknya, definisi manajemen yang baik ternyata tidak sesederhana yang dibayangkan. Norma bisnis modern yang dikarakterisasikan dengan profesionalisme, strukturisasi dan tanggung jawab terhadap pemegang saham justru lebih tidak tahan krisis. Profesionalisme membuat hubungan perusahaan dengan stakeholder semata bersifat teknis dan praktis -tanpa komitmen dan kepercayaan jangka panjang; strukturisasi membuat pengambilan keputusan lebih lama dan lebih tidak fleksibel; sementara tanggung jawab terhadap pemegang saham membuat perusahaan mengejar keuntungan jangka pendek yang lebih mudah terlihat dan lebih cepat memuaskan para pemegang saham. Ketika krisis menerpa, tiga hal ini menjadi kunci ketidakberlanjutan yang dijamin akan membunuh perusahaan dengan efisien.

Lalu manajemen bisnis seperti apa yang berkelanjutan? Perusahaan seperti apa yang akan tumbuh sementara perusahaan-perusahaan lain tumbang? Hasil survey konsultan bisnis global PwC pada tahun 2012 menunjukan hasil yang mengejutkan: perusahaan keluarga adalah model manajemen tahan krisis yang menjadi kunci keberlanjutan bisnis di abad 21 (artikel lengkap dapat dibaca di sini). Perusahaan keluarga sendiri pernah menjadi fenomena di tahun 1970-1980an ketika perusahaan-perusahaan keluarga dari Asia Timur tumbuh pesat di level internasional. Namun sejak saat itu model perusahaan keluarga dianggap ketinggalan jaman dan perusahaan-perusahaan didorong untuk mengadopsi sistem manajemen modern yang 'profesional' dan 'efisien'. Sungguh ironis melihat keadaan telah berbalik!

Rahasia dibalik ketahanan model manajemen perusahaan keluarga terhadap krisis dapat dikerucutkan menjadi tiga hal utama yang merupakan kebalikan dari karakter perusahaan modern, yaitu:
 
1. Hubungan Berbasis Kepercayaan

Manajemen modern memandang pegawai, penyuplai bahan baku dan distributor sebagai roda gigi yang membuat bisnis berjalan. Sebaliknya, perusahaan keluarga membangun hubungan dengan seluruh stakeholder-nya secara personal. Pendekatan ini menimbulkan kepercayaan, komitmen dan loyalitas; tiga modal penting saat krisis menerpa.

2. Kecepatan Pengambilan Keputusan

Saat krisis, pemimpin perusahaan keluarga dapat secara fleksibel mengambil kontrol dan mengendalikan perusahaan agar bergerak menjauhi badai. Keistimewaan ini tidak dimiliki oleh perusahaan 'modern' dengan struktur-strukturnya yang kaku. Ketika perusahaan keluarga tengah melesat melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap krisis, dewan direksi perusahaan 'modern' mungkin masih melakukan meeting-meeting panjang yang hasilnya tidak konklusif.

3. Perspektif Jangka Panjang

Tanpa pemegang saham yang meminta untuk segera dipuaskan, perusahaan keluarga dapat berinvestasi dalam aspek-aspek jangka panjang. Misalnya apabila perusahaan masih mengimpor bahan baku, manajemen dapat mengakuisisi sektor hulu sehingga ketergantungan terhadap impor berkurang. Bagi pemegang saham proses akuisisi ini kurang menarik karena biayanya besar dan keuntungannya sedikit; tetapi ketika nilai Dollar naik menembus atap, berkurangnya ketergantungan terhadap impor dapat menjadi faktor penentu keselamatan perusahaan.

Begitulah. Model manajemen perusahaan keluarga menawarkan perspektif yang berbeda -bahkan berkebalikan, dari model manajemen modern. Dengan bayangan krisis yang terus menggedor pintu, inilah saat yang tepat untuk meninjau perspektif perusahaan dan melakukan beberapa perubahan demi keberlanjutan.