Kamis, 11 Mei 2017

Ironi Pulau Pari


Setelah nyaris tiga jam perjalanan, kapal penumpang sederhana yang kami tumpangi akhirnya berlabuh di Pulau Pari. Beberapa dari kami masih basah, karena di tengah perjalanan tadi hujan sempat mengguyur penumpang di kabin atas yang tak terlindungi oleh atap yang layak. Tapi semuanya terlihat segar. Tidak ada satu pun, bahkan anak-anak, yang mabuk laut. Perjalanan ini memang tidak cantik, tapi efisien. Dan bagi kebanyakan penumpang di kapal ini, hal itu sudah cukup.

Kami menjejakkan kaki di dermaga dan diarahkan menuju homestay. Penyedia tur menjanjikan homestay menarik di pinggir pantai, tapi homestay yang kami tempati berada di tengah perkampungan -menempel langsung ke rumah pemiliknya seperti kos-kosan. Homestay itu nyaman dan bersih, dengan dua kamar mandi sempit yang tidak bisa dikunci serta tanpa ruang tengah untuk bercengkrama. Homestay ini tak lebih dari sekedar ruang tidur.

Akomodasi yang serba efisien ini, yang sengaja kami pilih untuk menghemat biaya, tidak sedikit pun mengurangi pesona pulau pari. Kami menggunakan perahu nelayan untuk melakukan snorkeling di beberapa spot yang kelabu. Tidak ada terumbu kerang berwarna-warni, dan beberapa titik masih dihidupi oleh bulu babi. Namun ada ratusan ikan jinak yang mengajak menari, dan sekali lagi itu cukup. Ada tiga pantai yang menarik, dimana kita bisa melihat matahari terbit dan terbenam, mencari bintang laut, atau sekedar berenang diantara hutan-hutan bakau. Kala itu sedang long weekend, tapi tidak sedetik pun pulau ini terasa terlalu sesak untuk dinikmati.


Bagaimanapun, pulau seribu adalah bagian dari Jakarta. Dan sama seperti Jakarta, perlu usaha keras untuk mengabaikan celah-celah masalah yang menganga. Baru enam jam kami mengenal pulau ini, saat sedikit demi sedikit pulau yang indah ini memperlihatkan betapa tidak berkelanjutannya pengelolaan wisata disini.

Kala itu kami tengah berjalan menuju tempat menikmati matahari terbenam. Cuaca berawan, matahari hampir pasti tidak kelihatan, tapi toh kami hanya punya sehari liburan. Ada anjungan panjang yang menjorok ke laut, dimana kita bisa duduk dan menyaksikan senja. "Dulu ini dermaga Pulau Pari, sekarang rusak," kata pemandu kami. Kenapa rusak? Ada pulau buatan disitu, kata sang pemandu sambil menunjuk pulau dengan deretan villa yang tengah dibangun, dimana di setiap villa terparkir speedboat. Pulau buatan itu merubah pola arus di sekitarnya, membuat sang dermaga tergerogoti, hanya menyisakan anjungan panjang yang retak disana-sini, tempat kami duduk. Sama-sama orang Indonesia, sama-sama paham, tidak ada yang perlu bertanya apakah pembangunan pulau itu berizin atau dicek dahulu dampaknya terhadap lingkungan.

Anjungan di pantai itu memiliki dua sisi, di satu sisi ada pantai bakau yang luas. Di sisi lain, hanya ada sampah. Kenapa tidak ada yang membersihkan? "Pengelolaan wisata di sini masih jadi sengketa," ujar sang pemandu. Baru beberapa minggu yang lalu, teman sang pemandu diciduk oleh aparat karena dianggap mengambil retribusi liar di salah satu pantai. Itu bukan pungutan liar, kata sang pemandu. Pantai itu dikelola swadaya oleh masyarakat sejak dulu, sampai tiba-tiba ada perusahaan yang mengklaim kepemilikannya -dan kepemilikan seluruh tempat wisata pulau pari. Perusahaan itu, sang pemandu hanya menyebutnya sebagai "PT", terus berusaha merebut pulau pari dari masyarakat. Bahkan saat ini untuk mengganti genting rumah pun masyarakat diharuskan untuk melapor dulu ke PT, ceritanya getir.


Esok paginya kami pergi ke Pantai Perawan, pantai terindah yang mengambil peran sebagai krim diatas krim di Pulau Pari. Dengan pasirnya yang putih, airnya yang tenang, dan pulau-pulau bakau kecil yang tersebar ditepian, pantai ini sangatlah cantik. Kami berenang agak jauh meninggalkan pantai utama yang ramai ke pulau bakau yang lebih kecil. Hanya ada kami disitu. Semua terasa indah dan alami, sampai kami melihat mesin penyedot pasir yang sedang tidak berfungsi. Mesin itu berukuran sedang dan terlihat jelas rakitan tangan. Ditanya tentang hal ini, sang pemandu menjelaskan dengan santai "itu untuk membentuk lanskap pantai ini."

Ada ironi yang menyengat tentang pergi dari Jakarta untuk beristirahat dari dinamika urban yang artifisial, untuk kemudian disuguhi sebuah pantai cantik yang ternyata lebih artifisial dari banyak hal di Jakarta. Sekali lagi, kami hanya bisa bertanya-tanya tentang dampak reklamasi kecil-kecilan ini terhadap habitat alami di Pulau ini. Pulau-pulau buatan di Pantai Perawan memang ditanami bakau-bakau yang kelak mungkin akan menjadi ekosistem yang sehat lagi. Tapi dalam jangka pendek, tak terbayang betapa banyaknya biota laut yang hilang karena rumah alaminya dirombak habis-habisan. Kata sang pemandu, dulu di Pulau Pari ada sekitar lima spesies bintang laut. Sekarang hanya ada tinggal satu.


Beberapa dari kami yang berkunjung ke Pulau Pari adalah bagian dari tim yang melakukan rebranding di Toraja. Jadi kami tidak benar-benar awam tentang pengelolaan wisata di Indonesia, terutama tentang betapa kecilnya perhatian para pemangku kepentingan terhadap keberlanjutan. Toraja adalah tempat wisata besar yang diperjuangkan oleh banyak aktor-aktor lokal yang visinya mengagumkan, meski kadang berbenturan satu sama lainnya. Tempat wisata lain yang sempat kami teliti, Tanjung Puting, juga dilindungi oleh banyak pemain lokal yang sadar akan pentingnya keberlanjutan. Aktor-aktor inilah yang tidak sempat kami lihat keberadaannya di Pulau Pari. Diantara persengeketaan sengit antara masyarakat dan PT, sepertinya tidak banyak ruang yang tersisa untuk memikirkan kelestarian lingkungan serta pengelolaan wisata yang dapat memberdayakan penduduk lokal.

Pulau Pari. Begitu dekat dengan Jakarta, tapi begitu jauh dari visi pariwisata negeri. Satu lagi ironi yang disuguhkan oleh Indonesia.

Tidak ada komentar: