Tampilkan postingan dengan label Life Note. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Life Note. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 27 Mei 2017

Green Canyon, Ngarai Hijau tanpa Nilai Merah

Dok: Eli

Selama dua belas jam, kami duduk berdesakan di sebuah minibus berukuran sedang. Jalan terus berkelok dan semakin lama semakin mengecil, tapi hanya sedikit sekali jalan rusak. Saat kami tiba di meeting point untuk Body Rafting, dari dua puluh penumpang, hanya satu yang mengalami mual cukup parah. Hal ini membuat kami agak lupa bahwa kami sedang menyusuri wilayah pedalaman Jawa Barat, dimana jalan rusak biasanya lebih merupakan norma daripada pengecualian.

Meeting point itu berupa sebuah lapangan yang tidak terlalu luas, yang disesaki oleh mobil bak, minibus, hingga bus besar yang sedang parkir. Suasana tidak terlalu riuh, tapi disana-sini berbagai kelompok kecil yang terpisah terlihat sibuk mempersiapkan diri untuk melakukan body rafting seperti kami. Disini, kami disambut oleh sarapan nasi goreng dan teh manis yang disajikan di sebuah warung makan kecil. Kami diharapkan tiba pukul tujuh, sementara saat itu sudah jam sembilan. Tak ayal nasi goreng kami sudah dingin. Tapi setelah dua belas jam kelaparan dan kedinginan di perjalanan, nasi goreng itu terasa cukup lezat.

Saya sendiri pernah kesini sebelumnya. Sepuluh tahun yang lalu, saat Aher memenangkan kursi gubernur Jawa Barat. Salah seorang petinggi di kantor orang tua saya merupakan bagian dari tim sukses Aher dan dia merayakan kemenangannya dengan menyewa dua bus ke Pangandaran. Kala itu, Green Canyon adalah sajian sampingan, sementara pantai Pangandaran adalah menu utamanya. Di Green Canyon, kita hanya bisa menyewa perahu untuk menyusuri sungai hingga berlabuh di mulut sebuah gua. Pemandangannya indah, tapi pengalamannya tidak istimewa. Sepuluh tahun kemudian, sungguh menakjubkan bagaimana Green Canyon telah berubah.

Setelah makan, kami dibagikan perlengkapan keselamatan seperti pelampung, helm, sepatu khusus dan karet untuk mengikat kacamata. Lalu kami naik di mobil bak dan dikirim ke sebuah titik yang lebih tinggi. Dari titik ini, kami berjalan sekitar 15 menit ke bibir sungai. Di belakang kami, ada mulut gua yang cukup besar. Penduduk lokal menyebutnya gua bau, karena gua ini merupakan tempat tinggal ribuan kelelawar yang dari tahun ke tahun melapisi lantai gua dengan kotoran mereka. Untungnya, baunya tidak sampai ke mulut gua. Di depan gua ini, para pemandu sekali lagi menjelaskan tata tertib serta paduan keamanan. Seperti biasa, salah satu aturan keras adalah dilarang menyepelekan atau merendahkan alam meskipun hanya bercanda. Kami paham. Bagaimanapun, pernah ada wisatawan yang meninggal di daerah ini. Kewaspadaan harus selalu diutamakan. Lalu kami diberi pilihan. Mau masuk ke sungai lewat tepian, atau loncat dari tebing setinggi 3 meter?

Dok: Eli

Saya jarang melakukan riset saat hendak liburan. Prinsipnya, semakin sedikit yang saya tahu sebelum berangkat, semakin banyak yang saya alami saat di tempat. Bahkan saat saya melompat dari tebing, saya masih tidak tahu apa sebenarnya yang ditawarkan oleh body rafting. Gambaran saya adalah perjalanan yang sama persis dengan sepuluh tahun yang lalu, tapi tanpa perahu. Benak dan tubuh saya mengharapkan sebuah perjalanan yang tenang dan damai, dimana arus-lah yang mengerjakan sebagian besar pekerjaan. Namun, saat arus terasa semakin deras, membawa tubuh-tubuh berpelampung kami melalui rute yang akan kami tempuh, barulah saya sadar betapa salahnya anggapan ini.

Ektrim tapi aman. Penuh resiko mematikan, tetapi masih dapat dilalui oleh anak berumur 6 tahun (dengan bantuan). Itulah kiranya gambaran yang tepat untuk perjalanan body rafting ini. Selama empat jam, kami dibawa menghadapi jeram-jeram deras dimana kualitas helm kami benar-benar diuji. Lalu saat jeramnya terlalu deras dan bebatuannya terlalu ceram, kami diarahkan keluar sungai untuk merayap di ngarai-ngarai tepian sungai. Ditengah-tengah, ada beberapa tebing tempat melompat. Dari yang setinggi tiga meter seperti diawal, hingga tebing setinggi tujuh meter yang mengharuskan kami untuk berlari sebelum meloncat untuk menghindari bibir tebing yang menonjol. Sebelum setiap titik yang agak sulit, para pemandu selalu memberikan tips tentang apa yang harus dilakukan. Lucunya, apabila salah satu dari kami gagal mengikuti instruksi secara sempurna dan menabrak bebatuan, maka para pemandu itu akan meringis bersama kami yang dibelakang sambil bergumam, "itu sakit pasti,".

Semakin jauh kami bertualang, semakin terasa betapa hebatnya para arsitek di balik paket body rafting ini. Dari dua anak sungai berbentuk ngarai yang mengalir di wilayah pedalaman, saya membayangkan para arsitek ini berkali-kali bereksperimen di sepanjang sungai demi mendesain paket yang paling tepat untuk dijual kepada masyarakat. Dimana harus meloncat, dimana harus memanjat, dimana harus menyelam. Bagaimana gerakan arus, titik mana yang perlu dijaga. Semua sudah terpetakan dengan baik, sehingga pelancong seperti kami hanya tinggal menikmati sensasinya dengan resiko yang telah diminimalisir dengan cerdas.

Pinjem fotonya ya, mbak.

Usaha para arsitek ini juga didukung oleh aktor-aktor dalam sektor pendukung. Mulai dari kondisi akses jalanan yang sempat saya ulas diawal, hingga akomodasi seperti homestay (yang sangat bagus, mengingat harga yang kami bayar tidak terlalu mahal), pengantaran dan makanan, semuanya dikelola dengan cukup baik. Tidak ada komplain apapun selama kami disana. Plus, cukup terasa bahwa kegiatan pariwisata di Green Canyon sangat memberdayakan masyarakat lokal. Dan nyaris semua orang yang kami temui, mulai dari penyaji makanan di warung, supir, pemandu, hingga warga lokal merasa senang berinteraksi dengan kami -sebuah sinyal yang menandakan rendahnya asimetri distribusi hasil pariwisata.

Kalaupun boleh ada catatan, mungkin objek wisata lain selain green canyon juga perlu lebih dipoles. Ada dua pantai yang kami datangi, salah satunya pantai batu hiu. Pantai ini sebenarnya indah, dengan tebing besar yang disulap menjadi semacam taman yang teduh. Namun setelah pengalaman melakukan body rafting yang luar biasa, panai-pantai ini menjadi terasa sangat biasa. Mungkin giliran arsitek generasi selanjutnya untuk lebih mengeksplorasi pesona alam lain di Pangandaran dan mengemasnya menjadi pengalaman tak terlupakan bagi para wisatawan.

Kamis, 11 Mei 2017

Ironi Pulau Pari


Setelah nyaris tiga jam perjalanan, kapal penumpang sederhana yang kami tumpangi akhirnya berlabuh di Pulau Pari. Beberapa dari kami masih basah, karena di tengah perjalanan tadi hujan sempat mengguyur penumpang di kabin atas yang tak terlindungi oleh atap yang layak. Tapi semuanya terlihat segar. Tidak ada satu pun, bahkan anak-anak, yang mabuk laut. Perjalanan ini memang tidak cantik, tapi efisien. Dan bagi kebanyakan penumpang di kapal ini, hal itu sudah cukup.

Kami menjejakkan kaki di dermaga dan diarahkan menuju homestay. Penyedia tur menjanjikan homestay menarik di pinggir pantai, tapi homestay yang kami tempati berada di tengah perkampungan -menempel langsung ke rumah pemiliknya seperti kos-kosan. Homestay itu nyaman dan bersih, dengan dua kamar mandi sempit yang tidak bisa dikunci serta tanpa ruang tengah untuk bercengkrama. Homestay ini tak lebih dari sekedar ruang tidur.

Akomodasi yang serba efisien ini, yang sengaja kami pilih untuk menghemat biaya, tidak sedikit pun mengurangi pesona pulau pari. Kami menggunakan perahu nelayan untuk melakukan snorkeling di beberapa spot yang kelabu. Tidak ada terumbu kerang berwarna-warni, dan beberapa titik masih dihidupi oleh bulu babi. Namun ada ratusan ikan jinak yang mengajak menari, dan sekali lagi itu cukup. Ada tiga pantai yang menarik, dimana kita bisa melihat matahari terbit dan terbenam, mencari bintang laut, atau sekedar berenang diantara hutan-hutan bakau. Kala itu sedang long weekend, tapi tidak sedetik pun pulau ini terasa terlalu sesak untuk dinikmati.


Bagaimanapun, pulau seribu adalah bagian dari Jakarta. Dan sama seperti Jakarta, perlu usaha keras untuk mengabaikan celah-celah masalah yang menganga. Baru enam jam kami mengenal pulau ini, saat sedikit demi sedikit pulau yang indah ini memperlihatkan betapa tidak berkelanjutannya pengelolaan wisata disini.

Kala itu kami tengah berjalan menuju tempat menikmati matahari terbenam. Cuaca berawan, matahari hampir pasti tidak kelihatan, tapi toh kami hanya punya sehari liburan. Ada anjungan panjang yang menjorok ke laut, dimana kita bisa duduk dan menyaksikan senja. "Dulu ini dermaga Pulau Pari, sekarang rusak," kata pemandu kami. Kenapa rusak? Ada pulau buatan disitu, kata sang pemandu sambil menunjuk pulau dengan deretan villa yang tengah dibangun, dimana di setiap villa terparkir speedboat. Pulau buatan itu merubah pola arus di sekitarnya, membuat sang dermaga tergerogoti, hanya menyisakan anjungan panjang yang retak disana-sini, tempat kami duduk. Sama-sama orang Indonesia, sama-sama paham, tidak ada yang perlu bertanya apakah pembangunan pulau itu berizin atau dicek dahulu dampaknya terhadap lingkungan.

Anjungan di pantai itu memiliki dua sisi, di satu sisi ada pantai bakau yang luas. Di sisi lain, hanya ada sampah. Kenapa tidak ada yang membersihkan? "Pengelolaan wisata di sini masih jadi sengketa," ujar sang pemandu. Baru beberapa minggu yang lalu, teman sang pemandu diciduk oleh aparat karena dianggap mengambil retribusi liar di salah satu pantai. Itu bukan pungutan liar, kata sang pemandu. Pantai itu dikelola swadaya oleh masyarakat sejak dulu, sampai tiba-tiba ada perusahaan yang mengklaim kepemilikannya -dan kepemilikan seluruh tempat wisata pulau pari. Perusahaan itu, sang pemandu hanya menyebutnya sebagai "PT", terus berusaha merebut pulau pari dari masyarakat. Bahkan saat ini untuk mengganti genting rumah pun masyarakat diharuskan untuk melapor dulu ke PT, ceritanya getir.


Esok paginya kami pergi ke Pantai Perawan, pantai terindah yang mengambil peran sebagai krim diatas krim di Pulau Pari. Dengan pasirnya yang putih, airnya yang tenang, dan pulau-pulau bakau kecil yang tersebar ditepian, pantai ini sangatlah cantik. Kami berenang agak jauh meninggalkan pantai utama yang ramai ke pulau bakau yang lebih kecil. Hanya ada kami disitu. Semua terasa indah dan alami, sampai kami melihat mesin penyedot pasir yang sedang tidak berfungsi. Mesin itu berukuran sedang dan terlihat jelas rakitan tangan. Ditanya tentang hal ini, sang pemandu menjelaskan dengan santai "itu untuk membentuk lanskap pantai ini."

Ada ironi yang menyengat tentang pergi dari Jakarta untuk beristirahat dari dinamika urban yang artifisial, untuk kemudian disuguhi sebuah pantai cantik yang ternyata lebih artifisial dari banyak hal di Jakarta. Sekali lagi, kami hanya bisa bertanya-tanya tentang dampak reklamasi kecil-kecilan ini terhadap habitat alami di Pulau ini. Pulau-pulau buatan di Pantai Perawan memang ditanami bakau-bakau yang kelak mungkin akan menjadi ekosistem yang sehat lagi. Tapi dalam jangka pendek, tak terbayang betapa banyaknya biota laut yang hilang karena rumah alaminya dirombak habis-habisan. Kata sang pemandu, dulu di Pulau Pari ada sekitar lima spesies bintang laut. Sekarang hanya ada tinggal satu.


Beberapa dari kami yang berkunjung ke Pulau Pari adalah bagian dari tim yang melakukan rebranding di Toraja. Jadi kami tidak benar-benar awam tentang pengelolaan wisata di Indonesia, terutama tentang betapa kecilnya perhatian para pemangku kepentingan terhadap keberlanjutan. Toraja adalah tempat wisata besar yang diperjuangkan oleh banyak aktor-aktor lokal yang visinya mengagumkan, meski kadang berbenturan satu sama lainnya. Tempat wisata lain yang sempat kami teliti, Tanjung Puting, juga dilindungi oleh banyak pemain lokal yang sadar akan pentingnya keberlanjutan. Aktor-aktor inilah yang tidak sempat kami lihat keberadaannya di Pulau Pari. Diantara persengeketaan sengit antara masyarakat dan PT, sepertinya tidak banyak ruang yang tersisa untuk memikirkan kelestarian lingkungan serta pengelolaan wisata yang dapat memberdayakan penduduk lokal.

Pulau Pari. Begitu dekat dengan Jakarta, tapi begitu jauh dari visi pariwisata negeri. Satu lagi ironi yang disuguhkan oleh Indonesia.

Senin, 01 Februari 2016

Feel Alive Yet?

Sekali lagi aku mengedarkan pandanganku, menikmati pernak-pernik berbau Tionghoa yang tersusun apik menghiasi restoran ini. Kekasihku berkali-kali mengutarakan keinginannya untuk mencoba tempat ini, tetapi belum pernah sekalipun keinginannya terpenuhi.

Pandanganku berhenti di gadis yang berada di sebelahku. Dia terlihat mengamati menu dengan serius, penuh tekad untuk menciptakan efisiensi Pareto antara harga dengan kenikmatan demi membuatku terkesan.

Seperti yang selalu ia lakukan sejak detik pertama aku melihatnya.

Minggu, 08 Februari 2015

Gadis-Gadis Mabuk di Sebelah

Beberapa waktu yang lalu, rumah kos tempat saya tinggal kedatangan penghuni baru. Jumlahnya kurang lebih tiga orang dengan jenis kelamin wanita. Awalnya saya kira mereka hanya wanita biasa, tetapi beberapa tanda-tanda yang tidak biasa muncul silih berganti. Pertama, setidaknya dua orang wanita tersebut terdengar sering mandi bersama. Bukan hal yang aneh bagi wanita sebenarnya, tetapi masalahnya kamar mandi di rumah kos saya hanya berukuran 1x1 meter. Saya tidak menyangka dua orang bisa muat disana. Kedua, deretan jemuran segera dipenuhi oleh pakaian-pakaian dalam wanita. Ketiga, wanita-wanita ini selalu pulang jam 3 pagi, dengan terkikik, dalam keadaan mabuk.

Ya, di titik ini saya yakin mereka bukan wanita biasa.

Awalnya saya jengkel karena setiap pukul 3 pagi, saya selalu dibangunkan oleh ceracauan gadis-gadis mabuk yang berteriak "Selamat pagi," sambil membanting pintu ketika masuk ke kamarnya masing-masing. Tapi seperti kata pepatah Irlandia, bahkan dalam keaadaan digantung pun manusia akan terbiasa. Lama kelamaan gadis-gadis mabuk ini menjadi rutinitas harian yang biasa saja. Tidak berbeda dengan tukang bubur dekat kantor Bank DKI yang selalu saya satroni untuk sarapan. Malahan, gadis-gadis mabuk ini pernah membantu saya bangun untuk mengejar flight pagi ketika alarm hape sedang tidak bisa diandalkan.

Kemudian, layaknya seorang Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, saya mulai mengobservasi para gadis-gadis mabuk ini. Apa yang mereka ceracaukan, intonasi mereka, dengan siapa mereka pulang dan lain-lain. Sekitar lima hari yang lalu mereka bertengkar. Dua orang pulang duluan, satu menyusul belakangan. Yang dua orang (tinggal di satu kamar di lantai bawah) berbagi omelan, yang satu terisak-isak selama satu jam di kamarnya (tinggal di kamar berbeda di lantai atas). Sekitar empat hari yang lalu mereka sepertinya sudah berbaikan. Ketiganya pulang bersama. Yang satu langsung naik ke atas, yang dua lagi sibuk sendiri. Ternyata salah seorang dari mereka minum terlalu banyak karena terus menerus kalah hom-pim-pah. Jadilah dia muntah-muntah di kamar mandi dengan bantuan temannya.

Oh, untuk membantu Anda berfantasi saya akan sedikit dekripsikan penampilan mereka. Dari tiga gadis-gadis ini, satu terlihat sangat cantik. Dia memiliki kulit putih yang bersemu pink alami. Saya tahu dia tidak memakai make-up karena saya melihat dia pukul 9 pagi masih dengan piyama. Dua gadis yang lain tidak begitu cantik. Tapi begitu mereka memakai make up, penampilan mereka membaik.

Lalu kemarin, sesuatu yang besar terjadi. Gadis lantai atas, yang paling cantik, menangis sambil muntah-muntah. Sepertinya dia tidak kalah hom-pim-pah, karena ceracauan yang keluar adalah penyesalan filosofis akan kehidupan. Mulutnya pahit. Dia meminta air pada temannya, tetapi mereka tidak punya stok air mineral. Akhirnya dia meminum air mentah dari kamar mandi. "Kenapa harus begini?" katanya.

Kenapa harus begini?

Saya tidak menghakimi, karena itu adalah tugas tuhan dan malaikat.

Gadis-gadis ini harus berbagi kamar di rumah kos yang tarifnya hanya Rp 650.000, artinya mereka bukan orang berada. Mereka harus begini, karena inilah cara mereka untuk mencari uang. Dengan pergi ke sebuah klub karaoke, menemani pengunjung minum-minum lalu meratapi tubuh yang remuk di sisa malam. Apakah mereka punya pilihan lain? Mungkin punya. Apakah mereka mengambil keputusan yang salah? Bisa jadi. Butuh observasi lebih lanjut untuk memahami gadis-gadis ini. Sementara itu, rutinitas yang sama akan terus berulang. Tadi si cantik sempat mengeluh enggan untuk pergi, tetapi dia akhirnya pergi juga. Jam 3 nanti mereka akan kembali dengan kisah baru dan ceracauan baru. Saya akan menunggu. 

Sabtu, 03 Januari 2015

2014 Year End Review

Hari ini tanggal 3 Januari 2015. Sudah resmi 3 hari sejak tahun 2014 yang baru. Dimana saya sekarang? Apa yang harus saya lakukan kedepan?

Oke, yang pertama, di tahun politik kemarin saya tidak sedikit pun lebih dekat ke karir impian saya: sesuatu di bidang politik. Kalaupun ada pergeseran, saya justru menjauh karena pada awal tahun ini saya berpindah jalur karir dari PR ke Advertising. As we know it, lebih gampang kambing belajar berenang daripada anak iklan terjun ke dunia politik (bisa sih, tapi tidak dengan cara-cara yang saya inginkan).

Pergeseran ini sendiri bukan sesuatu yang jelek, sih. Ceritanya awal Januari lalu saya berkesempatan interview di Leo Burnett Jakarta dengan sang selebtwit legendaris Henry Manampiring. Kita ngobrol-ngobrol dan ternyata langsung nyambung. Om Henry sempat bertanya, "Kamu kan engga pernah kerja di iklan, kok tau detail-detailnya sih?" dan seketika bayangan Mas Rizal, Mbak Pulung dan Mbak Betty melintas, I had a really great teacher at kampus. Next, setelah tes stragic planning, Om Henry bilang "you should be a strategic planner at an advertising agency, because we are a rare breed" which is nice, walaupun akhirnya engga keterima karena 'pertimbangan-pertimbangan tertentu'.

Then I left PR industry and go straight to advertising business. Beberapa hal di tempat kerja yang baru membuat saya belajar lebih sedikit dan 'beraksi' lebih banyak. Setelah berbulan-bulan mengerjakan pekerjaan copywriting, saya mulai dipercaya untuk menjadi strategic copywriter, which is nice karena saya jadi mendapat kesempatan untuk presentasi ke luar kota. Tahun ini sempat bertandang ke Bali (menginap sehari) dan Yogyakarta (berangkat pagi pulang malam) serta harusnya ke Makassar dan Samarinda tapi karena isu-isu teknis diundur ke bulan Januari ini.

Oh, tahun ini dua kali liburan yakni ke Semarang (Pernikahan Derira) dan Solo (Pernikahan Bintang). Mungkin ini pertama kalinya saya liburan tidak dengan gaya backpacker, karena naik kereta non-ekonomi dan menginap di hotel instead of numpang di kosan/rumah orang. Which is nice.

Bintang dan Derira adalah dua teman yang sama sekali tidak disangka-sangka akan menikah dengan cepat. Saya masih melihat Bintang sebagai anak SMA kocak yang memuja Tanaka Reina dan Derira terasa masih berjiwa terlalu muda untuk menambatkan hatinya secara permanen. But you know what, I think they made a good decision. Buat apa menunda-nunda nikah kalau bisa sekarang? Buat apa pacaran lama-lama kalau ujungnya engga menikah? Toh selama sang istri bisa belajar ikhlas dan sang suami bisa belajar menjadi pemimpin bertanggungjawab, pasti tidak akan ada masalah. Kudos untuk teman-teman ini yang tidak termakan propaganda nikah telat ala film-film Barat. 

Apalagi ya? Bulan September kemarin sempat ngambil tes Toefl juga untuk kelengkapan tes PNS dan OJK. Dua-duanya gagal, tapi skor Toefl-nya 630. Which is nice meskipun engga tahu juga untuk apa. Waktu tes OJK saya gagal waktu tes IQ, which is funny karena tes IQ biasanya satu-satunya hal yang tidak saya gagalkan. Tapi ya sudahlah, toh tidak mungkin juga menjadi konsultan politik atau strategic planner apabila saya kerja di OJK bukan? (Meskipun gajinya 12 juta sebulan hiks)

Di tahun 2014 saya lebih sering bertemu dengan teman-teman SMA & UGM karena satu demi satu mereka mulai berdatangan ke Jakarta. Plus teman baru dari Psikologi UI yang hang-outnya asyik melulu. Saya yang dulu paling hanya main ke game center kini mengunjungi Lucro, Seaworld (sebelum tutup permanen!), Agent X, Kota Tua, Jungleland dan lain-lain. Ini berbeda dengan tahun 2013 yang benar-benar sepi tanpa teman sama sekali kecuali teman kerja. Saya harap tahun 2015 ini kita bisa meluangkan lebih banyak waktu untuk bertemu, karena kalau tidak dipaksakan ketemu pasti lama-lama menghilang sendiri-sendiri.

Terus apalagi ya? It's a nice year, but still seems to be wasted. Mulai tahun ini lebih serius deh.

Senin, 08 September 2014

Mencari Pengganti Sang Q5

Hari Sabtu, 6 September 2014, Blackberry Q5 saya dicopet di metromini 102 tepat ketika saya mencoba turun di Lebak Bulus. Pencopet tersebut berkawanan, kemungkinan bersekongkol dengan supir dan kenek metromini. Mereka beraksi terang-terangan, setiap ada penumpang yang hendak turun mereka akan memepet korban secara bergerombol dan merebut barang berharga mereka. Sebelum saya turun, saya melihat dua kali sang kawanan pencopet melakukan aksinya. Ketika saya dicopet, saya langsung menyadari hilangnya Blackberry Q5 saya dan segera mengkonfrontir orang-orang yang memepet saya ketika hendak turun. Sayang mereka bergerombol sehingga saya kesulitan mengidentifikasi keparat yang benar-benar mengambil Blackberry Q5 saya (seorang bapak yang saya duga anggota kawanan berulang kali mengatakan melihat pencopetnya sudah turun). Sialnya lagi di Lebak Bulus, tempat saya turun, belum ada polisi yang berjaga. Seandainya ada polisi ditempat itu (yang seharusnya memang ada), mungkin Blackberry Q5 saya bisa diselamatkan.

Sejujurnya bukan nilai materialnya yang membuat saya merasa cukup kehilangan. Blackberry Q5 ini saya beli dengan kombinasi uang hadiah sebuah lomba nasional, tabungan gaji dan tunjangan hari raya lebaran. Gadget mid-end baru pertama yang saya beli dengan uang sendiri setelah sebelumnya saya selalu menggunakan gadget turunan dari ayah atau beli second. Belum lagi Blackberry Q5 ini benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan karakter saya. Keyboard fisiknya yang canggih dan spesifikasinya yang memungkinkan manuver-manuver dinamis membuat saya sangat menikmati interaksi dengannya.

Dengan hilangnya Blackberry Q5 ini saya berjanji pada diri sendiri bahwa saya akan,

1. Lebih berhati-hati dan menghapus sikap 'bencana tidak akan mengenai saya'
2. Lebih aktif membantu dan/atau melawan apabila ada orang yang diduga berencana melakukan kejahatan terhadap orang lain

Saat ini saya memegang Samsung Galaxy Chat milik seorang teman yang tidak terpakai. Meskipun saya merasa sangat berterimakasih atas pinjaman Samsung Galaxy Chat tersebut, tetapi smartphone ini mengingatkan saya akan betapa tidak cocoknya diri ini terhadap User Interface dari Android Samsung. Sebelum Samsung Galaxy Chat, saya sempat menggunakan Samsung Galaxy Mini turunan dari ayah saya. Tetapi saya sangat muak dengan smartphone tersebut sampai-sampai saya memilih Sony Erricson flip lama saya untuk penggunaan sehari-hari.

Kini ketidaksukaan saya terhadap User Interface Samsung menjadi lebih besar karena saya telah merasakan betapa mulusnya User Interface OS 10 Blackberry (I'll not go into the detail but trust me on the superiority of OS 10 BB UI). Artinya, ada baiknya saya mulai mencari pengganti sang Q5.

Budget yang bisa saya siapkan apabila saya membeli smartphone bulan ini adalah Rp 2.000.000. Dengan budget minimal ini, pilihan saya terbatas pada kategori lower-end. Beberapa pilihan yang muncul adalah Samsung Galaxy Grand, yang tidak akan saya pilih karena dia Samsung; LG Pro Lite yang cukup menggiurkan dengan harga Rp 2.200.000 dan spesifikasi yang canggih, tetapi UI-nya tidak jauh berbeda dengan Samsung; Blackberry Z3 yang juga menarik tetapi akan terasa sedikit 'turun kelas' setelah Blackberry Q5; Sony Xperia M yang desainnya cantik (sayang agak gemuk) dan sepertinya UI-nya lebih dapat diterima dibanding gadget keluaran Korea; Lenovo a706 yang desainnya clumsy tetapi spesifikasi dan UI-nya bersaing (untuk seekor Android); serta Zenfone, Asha & Iconia. Yang pasti UI berbasis Android tetap akan terasa 'menyakitkan' dan saya harus mengucapkan selamat tinggal pada keyboard ala Q5 yang memungkinkan saya menulis artikel-artikel pendek dalam perjalanan atau merevisi pekerjaan saat makan siang.

Saya tidak butuh kamera yang terlalu canggih dan memori internal yang terlalu banyak. Kualitas yang dicari adalah prosesor dan RAM yang cukup baik untuk bermanuver secara dinamis, UI yang bisa diterima dan desain eksterior yang cantik. Apa ya? Atau lebih baik menabung dulu sampai terkumpul setidaknya 3.000.000 agar bisa menjangkau yang sekelas Sony Xperia M2?

Decision, decision. 

Minggu, 31 Agustus 2014

Gita S.TB (Sarjana Tenda Biru)

Namanya Gita Meina Amalia, cewe terhits nomer dua se-Banten yang cuma kalah sama Ratu Atut.

Beberapa hari yang lalu, wanita sunda tulen ini pergi ke Makassar demi mencari sesuap nasi dan segenggam saham. Dia kerja di Garuda jadi apanyaaa gitu (ane ndak paham) terus dia ditugaskan ke kota Seribu Mahasiswa Galak tersebut. Katanya sih dia bertekad untuk membuat Garuda cabang sana semakin hits. Kita doakan saja semoga disana dia engga ikut-ikutan demo atau berantem sama mahasiswa Unhas.

Nah, Gita ini salah satu konco kentel gw di jaman-jaman mahasiswa dulu. Dan gua yakin dia sempet naksir gua gitu (engga, man). Kita pertama kali ketemu di perpustakaan. Dia lagi nyari buku, terus gw (yang saking ga punya tempat nongkrong lain selain perpus, sampai hapal indeks bukunya) bantuin dia nyariin dan ngambilin buku yang kebetulan ditaruh agak tinggi. Kata Gita sih adegan pertama ketemu ini mirip dengan film Ada Apa dengan Cinta.

Gw dan Gita lanjut berteman karena kita satu kelompok Greeting Camp dan kosan kita ternyata dekat. Lebih dari itu, kita juga sama-sama suka ilmu pengetahuan, suka baca, suka bermain hati dan suka badminton. Gita sering berbagi banyak referensi novel Indonesia (semi-mesum) dari pengarang-pengarang wanita (yang mesum). Salah satunya judulnya 'bra' yang diluar dugaan ternyata keren banget. Lalu karena kita sama-sama ga punya gandengan, kita sering nonton bioskop berdua layaknya jiwa-jiwa yang galau.

Waktu merapi erupsi tahun 2010, Gita ambil bagian bantu-bantu pengungsi. Dia sempet ngebujuk gw ngeliat kondisi pengungsian supaya simpati gw tumbuh, tapi gw malah milih ke genesis sama hawwin. Gita juga aktif membantu kaum difabel, sampai-sampai dia bisa bahasa isyarat. Berkat kemampuannya ini, Gita bisa ngobrol sama Nicholas Saputra yang lagi shooting 'What They Don't Talk About When They Talk About Loce' (sayang filmnya biasa aja).

Meskipun temen Gita selain gw banyak, tetapi dia selalu inget buat nemenin gw kalau lagi galau (sering). Kita sering ngeburjo bareng, ngesunmor bareng, belajar bareng dikosannya sampai malem dan lain-lain. Sesuatu yang kayanya ga bakal bisa terulang lagi sekarang. Dulu habis gw ditinggalin w dan d gw ngadunya ke dia. Meskipun dia ujungnya ngetawain doang sambil nyanyi 'cinta satu malam'.

Meskipun Gita telah pergi ke Makassar, tetapi kenangan kami bersama akan selalu tersimpan dalam hati. Kenapa kita harus berpisah Git? :(

You're the best in your own way. Go fly, woman.

Jumat, 21 Maret 2014

The Fifth Month

Beberapa bulan yang lalu, saya membaca 'The Geography of Bliss', sebuah buku perjalanan tentang pencarian kebahagiaan yang ditulis oleh Eric Weiner. Buku ini istimewa bagi saya, karena mungkin inilah satu-satunya buku perjalanan yang saya sukai. Buku perjalanan lain biasanya tidak memuaskan saya karena si penulis seringkali terbutakan oleh antusiasme dan euphoria yang membuat dia gagal menangkap esensi kehidupan dari tempat-tempat yang ia kunjungi. Selain itu, mayoritas penulis buku perjalanan alias 'travel blogger' juga membuat saya alergi karena bagi saya mereka adalah salah satu variasi dari virus hipster yang menjengkelkan.

Nah, berbeda dengan para hipster, maaf, travel blogger biasa, Eric Weiner adalah seorang jurnalis skeptis yang memiliki referensi luas terhadap ilmu psikologi, sejarah dan antropologi. Eric Weiner bisa menangkap dengan tepat esensi kehidupan dari tempat yang ia kunjungi lalu menganalis-silangkannya dengan berbagai referensi yang ia miliki. Hasilnya luar biasa! Aku rekomendasikan kalian untuk membacanya sebelum kalian mati.

Dalam buku 'The Geography of Bliss', Eric Weiner membuktikan bahwa salah satu faktor penting yang menentukan kebahagiaan manusia adalah hubungan sosial. Inilah yang membuat family man lebih bahagia dari orang sebatang kara. Ini juga yang membuat kehidupan jomblo begitu sengsara; karena hubungan adalah salah satu faktor utama kebahagiaan.

Saya pribadi, seperti yang mungin kalian ketahui, relatif memiliki sedikit hubungan sosial yang berfungsi dengan baik sehingga saya kerap merasa tidak bahagia. Setidaknya, itulah yang terjadi sampai ketika sekitar lima bulan yang lalu saya menemukan seorang gadis yang cukup baik untuk mau membina hubungan romantis dengan saya.

Saya bertemu dengannya di kantor lama saya, Prasasta. Sejak awal ia masuk, saya sudah tertarik dengannya karena, well, secara fisik ia memang menarik. Saya suka parfumnya, suaranya dan senyumnya. Tapi yang benar-benar membuat saya jatuh cinta padanya adalah judul skripsinya: 'Pengaruh Kemenarikan Wanita terhadap Kesediaan Lelaki untuk Berbohong' yang ia teliti menggunakan eksperimen (oh, aku lupa bilang bahwa dia anak Psikologi UI angkatan 2009).

Lucu. Saya tidak pernah merasa bahwa saya akan memiliki pacar sebelum saya membeli mobil pertama saya di usia 24 tahun. Saya sebelumnya hidup ditengah gadis-gadis materialistik yang membuat saya yakin bahwa cinta itu tidak ada dan wanita itu harus dibeli secara simbolik melalui pameran kemewahan (ya, anda tidak perlu memberi tahu saya bahwa saya salah bergaul, saya tahu). Maka saya tidak menyangka bahwa ketika saya menawarkan 'cinta, kesetiaan dan janji', gadis tersebut akan mengatakan 'ya'.

Hubungan kami bukan hubungan yang mudah. Sebelum saya benar-benar memiliki pacar, saya punya beberapa kriteria gadis ideal yang diantaranya adalah: ia harus secerdas saya (syarat yang terlalu tinggi untuk mayoritas wanita, sepertinya), ia harus menyukai film-film cerdas, ia harus menyukai serial game of thrones, ia harus suka membaca, ia harus memiliki pengetahuan dasar akan sejarah filsafat dan yang paling penting ia harus suka Owl City. Nah, ternyata gadis yang akhirnya membuat saya jatuh cinta sekarang sama sekali tidak memenuhi satu pun dari kriteria tersebut.

Kami sangat berbeda. Sama berbedanya seperti sebuah planet dan sebuah planetoid. Saya adalah seorang konservatif dan ia adalah seorang liberal. Saya membenci hipster, ia sampai tahap-tahap tertentu adalah seorang hipster. Saya lahir dari keluarga sederhana dan ia lahir dari keluarga... kaya. Saya menyukai Jason Mraz, ia menyukai musik jedag-jedug. Saya suka membaca, ia hanya membaca artikel-artikel psikologi yang bersinggungan dengan minat utamanya di bidang psikologi sosial. Saya memuja Lorde dan The Hobbit -yang ia benci. Ia menyukai Skrillex dan lagu-lagu remix hipster -yang saya benci. Saya percaya bahwa jiwa dari musik adalah lirik, ia tidak.

Sepertinya kami saling mencintai dengan cukup baik, tetapi hubungan kami penuh gangguan yang pada umumnya disebabkan oleh perbedaan kami, ketidakdewasaan kami (well, aku lebih tepatnya) serta masa lalu kami.

Di bulan pertama, kami menikmati masa-masa indah dalam kabut-kabut cinta. Meski terkadang kabut-kabut cinta itu tersibak dan logika skeptis kami muncul dengan dramatis sambil berteriak "Kau benar-benar yakin mau sekali lagi mengambil resiko untuk patah hati sampai menjadi butiran debu?"

Di bulan kedua, saya merasa sangat terganggu dengan sifatnya yang over-friendly terhadap teman-teman prianya. Saya menghendaki hubungan yang eksklusif, tetapi dia merasa bahwa tidak ada salahnya apabila ia merasa nyaman dengan teman lelakinya. To be fair, wanita memang bisa membedakan 'teman' dan 'partner romantis' sehingga ia bisa merasa nyaman dengan lelaki tanpa tertarik secara seksual kepadanya. TAPI SAYA KAN ENGGA BISA. Saya bisa dengan mudah tertarik secara seksual kepada teman wanita saya yang menarik sehingga secara otomatis saya harus membatasi kontak dengan teman-teman wanita saya (yang for the record, rata-rata sangat menarik). Hal ini beberapa kali saya coba negoisasikan tetapi hasilnya nihil, bak bernegoisasi dalam bahasa yang berbeda.

Di bulan ketiga dan keempat, kami mengalami masa-masa keemasan. Setelah kami memahami bahwa tidak ada gunanya bernegoisasi dalam beberapa hal prinsip (seperti tentang betapa bagusnya lagu Lorde, demi tuhan, kenapa dia tidak bisa melihatnya!) kami akhirnya saling mengabaikan hal-hal yang bisa memicu gesekan dan memilih bersenang-senang setiap hari. Kami makan, nongkrong, makan, nongkrong dan seterusnya sampai-sampai saya merasa sangat bahagia dan berat badan saya naik 12 kilogram.

Di bulan kelima, setelah melihat betapa tipisnya saldo rekening kami dan tebalnya timbunan lemak kami, akhirnya kami sepakat untuk melakukan perubahan gaya pacaran ke arah yang lebih bertanggung jawab. Kami berhenti main setiap hari dengan tujuan agar saya bisa menabung 25% gaji saya setiap bulan. Kebetulan, di bulan kelima ini saya berhenti bekerja di kantor yang sama dengannya sehingga secara teknis frekuensi main, makan dan nongkrong bersama akan berkurang drastis. Selain itu, kami juga memulai diet tidak-makan-diatas-jam-enam.

Perubahan ini relatif sulit untuk dilakukan karena ternyata saya adalah orang yang clingy dan kangenan, tapi kami berusaha untuk membuatnya bekerja.

Doakan kami ya, :)  

Minggu, 16 Februari 2014

Selamat Tinggal dan Terimakasih, My Chemical Romance


Hari ini, hari Minggu, saya tetap pergi ke kantor untuk menyelesaikan beberapa tugas yang harus diserahkan ke klien pada hari Senin.

Seperti biasa, saya langsung membuka website grooveshark.com, sebuah website yang memungkinkan anda untuk mendengarkan berbagai lagu secara online sebelum memulai pekerjaan. Entah mengapa, saya sedang ingin mendengarkan lagu-lagu 'keras' yang populer saat saya masih remaja dulu. Tanpa pikir panjang saya pun mengetikan 'My Chemical Romances' di kolom pencari Grooveshark.

Dari hasil pencarian, saya melihat bahwa ternyata My Chemical Romance telah merilis album baru pada tahun 2010 (hanya 'baru' bagi saya, sepertinya). Judulnya Danger Days: The True Lives of the Fabulous Killjoys.

Reaksi saya terhadap album ini adalah... 'beda'. Tidak ada aroma kematian, kebencian dan rasa frustasi dalam album ini. Sepertinya 'My Chemical Romance' telah berubah menjadi 'My Chemical Romance.... Goes Unexpectedly Well and I No Longer Hate the World but We're Still Kind of Emo so Fuck You and Have a Nice Day'.

Terdorong rasa penasaran, saya segera melakukan pencarian online tentang album ini. Tentang reaksi fans, tentang drama di dapur rekaman, tentang visi yang dikandungnya, dan akhirnya tentang... bagaimana akhirnya My Chemical Romance mengakhiri 12 tahun kebersamaan mereka.

Hasil pencarian yang muncul ternyata sangat emosional. Tidak, My Chemical Romance tidak bubar karena vokalisnya masuk penjara seperti Kangen Band. My Chemical Romance juga tidak bubar karena salah satu atau salah dua personelnya bertengkar berebut pengaruh seperti anak gadis. My Chemical Romance bubar karena satu alasan saja, satu alasan yang sederhana...

Karena jauh sebelum mereka memutuskan untuk bubar, My Chemical Romance sudah lama tidak ada.

Maafkan apabila saya salah karena saya bukan ahli di bidang ini. Bagi saya, My Chemical Romance adalah band yang dibentuk oleh sekelompok pemuda yang bingung. Pemuda-pemuda yang mengalami beberapa kenyataan pahit saat mereka tengah beranjak dewasa. Mereka kemudian menggunakan seperangkat alat musik untuk mengekspresikan kebingungan mereka, rasa sakit hati mereka serta protes-protes tak terdengar mereka. Diatas segalanya, mereka mengekspresikan kebencian mereka terhadap dunia.

Tidak semua musik mereka mudah didengar, tentu saja. Mereka bukanlah One Direction atau Justin Bieber yang memang didesain dengan ilmu-ilmu pemasaran untuk menarik konsumen berupa anak-anak gadis. Mereka, My Chemical Romance, hanya menuliskan perasaan mereka dan mengekspresikannya dalam bentuk lagu. Sesederhana itu.

My Chemical Romance adalah sebuah visi yang abadi. Sayangnya, personel-personel mereka adalah manusia biasa. Seperti manusia biasa, mereka akhirnya tumbuh. Seperti manusia biasa, mereka akhirnya memahami kehidupan sedikit demi sedikit. Seperti manusia biasa, mereka berhenti membenci hidup dan memilih berdamai dengannya.

Gerard Way menuliskan bahwa dia kehilangan 'rasa' saat ia manggung di suatu tempat pada tahun 2012. 'Rasa' itu, mungkin, adalah kesadaran bahwa dia bukan lagi remaja marah yang ingin mengacak-acak tatanan dunia yang kacau. Kini dia telah dewasa. Kini dia tidak lagi memiliki 'Chemical Romance' yang meletup-letup dalam hatinya.

Karena alasan yang sama, Danger Days: The True Lives of the Fabulous Killjoys juga kehilangan nuansa kegelapan, kematian dan kebencian khas layaknya album-album sebelumnya.

Sedih memang, mendengar band legendaris ini harus mengakhiri perjalanannya. Apalagi saat ini blantika musik mainstream dipenuhi oleh pecandu heroin hedonistik yang tidak memiliki cukup otak dan rasa untuk menggubah nada-nada kehidupan menjadi musik. Tetapi, pembubaran ini adalah yang terbaik. My Chemical Romance adalah sebuah ide. Ide yang tidak mungkin lagi dijalankan oleh anggota-anggotanya yang kini telah dewasa.

Saya sendiri, seperti banyak manusia lainnya, sangat bergantung terhadap My Chemical Romance untuk mengarungi masa remaja saya. Bersama dengan My Chemical Romance, saya melarutkan rasa amarah, rasa bingung dan rasa benci terhadap dunia. Bersama dengan My Chemical Romance saya memprotes orang tua saya yang (saat itu dirasa) tidak berguna, sistem pendidikan yang (saat itu dirasa) sangat tolol dan segala otoritas lain yang (saat itu dirasa) mengacaukan segalanya.

Pacar saya dulu, yang juga memiliki latar belakang sendu tersendiri, adalah sama-sama penggila berat My Chemical Romance. She was my 'Helena' (not the grandma, but the goddess you morons) dan rasanya menyenangkan memiliki pasangan yang memikul beban yang sama.

Tapi, sama seperti personel-personel My Chemical Romance, saya juga akhirnya tumbuh dewasa. Rasa bingung, rasa amarah dan rasa benci yang selalu saya kenakan kini telah terlipat rapi dan dimasukan ke sudut terbawah lemari. Perlahan-lahan, lagu-lagu My Chemical Romance berhenti menjadi bagian dari playlist. Perlahan-lahan.

Kini, di sebuah gedung perkantoran Jakarta. Dengan gelar sarjana, pekerjaan tetap dan karir yang (mudah-mudahan) cemerlang di depan mata, gaung-gaung My Chemical Romance semakin terdengar sayup.

Terimakasih, My Chemical Romance.

Selamat tinggal. 
   

Kamis, 21 November 2013

Untuk Diriku Sepuluh Tahun yang Lalu

Dear Diriku,

Kalau aku tidak salah ingat saat ini kau berusia sepuluh tahun. Kau sedang duduk di kelas enam SD dan teman-teman sekelasmu sedang terpecah menjadi dua golongan yang berperang dingin.

Aku ingin memberitahu kepadamu beberapa hal tentang kehidupanmu di masa depan. Beberapa hal tentang perjalananmu yang tidak istimewa, tetapi tetap menakjubkan. Serta beberapa hal tentang kekasihmu di masa depan, yang sangat kau cintai meskipun kau tidak yakin bisa menahannya untuk selamanya.

Pertama, sebentar lagi kau akan memasuki masa puber dan krisis yang berkepanjangan. Kau akan masuk kelas Akselerasi di SMP dan percayalah padaku, keputusanmu untuk masuk kelas akselerasi akan memberikan dampak-dampak yang luar biasa. Kau akan selalu lebih muda daripada teman-teman di lingkaranmu, kau akan jatuh cinta/patah hati beberapa kali dengan orang yang lebih tua dan kau akan mengambil keputusan-keputusan buruk yang disebabkan oleh belum dewasanya jiwamu.

Tapi jangan khawatir, percayalah padaku: pada akhirnya kau akan bahagia.

Di tahun pertama SMA kau akan diteror oleh kawanan bully dikelasmu. Itu akan menjadi tahun yang menyebalkan, tetapi di tahun kedua masa pubermu akan dimulai dan kau akan tumbuh lebih tinggi dari semua kawanan bully.

Oh ya, kau tidak terlalu populer di kalangan wanita atau kalangan sosial secara umum, tapi kau akan bertemu pacar pertamamu dan mengalami masa-masa menyenangkan -sebelum kalian putus karena jarak (side note: dia cukup cantik).

Selama SMA kau akan merasa tidak bahagia, merasa gagal dan beberapa kali melakukan pemberontakan seperti tidak pulang ke rumah untuk bermain bersama teman hingga pagi dan semacamnya. Kau akan berusaha mati-matian -dengan cara yang buruk- untuk mendapatkan identitas dan menjadi keren (sidenote: kau gagal dan kau menyakiti perasaan banyak orang).

Tapi jangan khawatir, percayalah padaku: pada akhirnya kau akan bahagia.
 

Saat kuliah kau akan belajar untuk menjadi diriku -pribadi yang akhirnya bisa kau cintai dan kau banggakan. Sayangnya perjalanannya tidak mudah. Kau akan jatuh berkali-kali. Kau akan menghabiskan bulan-bulan menghisap rokok untuk menstabilkan emosi. Kau akan merasa terpuruk kedalam kali yang terdalam. Orang yang kau cintai akan memilih orang lain yang lebih kaya (dan bermuka standar) sebegitu seringnya sehingga kau mempertanyakan betapa rendahnya nilai dirimu.

Sisi terangnya, kau akan belajar tumbuh dewasa. Kau akan berteman dengan banyak orang, kau akan tumbuh menjadi orang yang (menurut dirimu sendiri) relatif tampan dan kau akhirnya bisa mendapatkan apa yang kau inginkan sejak masa puber dulu: reputasi dan popularitas.

Kau akan mengakhiri masa kuliahmu dengan berbagai kejayaan yang selalu kau inginkan: memenangi lomba, mendapat pekerjaan, memfalisitasi lahirnya BSO PR dan menyaksikan adik-adik kelasmu menjalankan lomba komunikasi nasional tersukses sepanjang sejarah UGM.

Diatas segalanya, kau akan mendapatkan pacar keduamu. Pacar yang sangat kau cintai dan membuat wanita-wanita lain di kehidupanmu sebelumnya terasa seperti skripsi yang tidak lengkap.

Selamat ya, diriku sepuluh tahun yang lalu. Sepuluh tahun lagi aku akan menyuratimu dan mari kita lihat bersama apa yang akan terjadi nanti.

Dengan Bangga,
Salman Firdaus - Dirimu 10 tahun lagi.  


Jumat, 22 Maret 2013

A Day in Jakarta

Sekitar empat tahun yang lalu, saya pernah berkelana di Jakarta Selatan sendirian untuk mengikuti ujian tulis Universitas Gadjah Mada. Allhamdulilllah waktu itu akhirnya saya bisa pulang dengan selamat dan lolos masuk jurusan ilmu komunikasi.

Beberapa hari yang lalu, saya kembali ke Jakarta Selatan. Masih dalam rangka merajut masa depan. Bedanya kalau empat tahun yang lalu saya ke Jaksel untuk memeras otak, kali ini saya datang untuk bersilat lidah. Interview kerja.

Agak lucu sebenarnya. Kembali ke tempat dimana segalanya bermula setelah kamu berkelana begitu jauh. Ada beberapa tempat familiar seperti terminal kampung rambutan yang membuat kenangan-kenangan lama berputar kembali. Rasanya banyak sekali yang telah berubah, banyak sekali langkah yang telah ditempuh, dan banyak sekali hal baru yang telah tumbuh dalam diri saya sejak empat tahun yang lalu.

Interview dimulai pukul sepuluh pagi di Pondok Indah Office Tower lantai 17. Agak canggung juga rasanya, naik ke lantai gedung yang begitu tinggi setelah sebelumnya diperiksa oleh satpam dan diberi kartu identifikasi berlabel 'visitor'. Untungnya begitu masuk kantor, atmosfer yang ramah langsung menyambut saya. Ada satu orang pegawai disana yang sama-sama datang dari Yogyakarta. Dia langsung mengajak saya berkenalan dan membuat ketegangan saya sedikit mereda.

Selain pegawai tersebut, saya juga bertemu dengan seorang pelamar kerja yang lain. Kami bersalaman, tapi tidak bertukar nama. Dia baru saja keluar dari ruang interview dan terlihat sangat gugup seperti sedang menunggu istrinya melahirkan.Setelah beberapa menit menunggu, saya dipersilahkan masuk kedalam ruang interview.

Sesi pertama interview ternyata berupa tes IQ. Sebenarnya saya sedikit bersyukur karena Tes IQ merupakan salah satu hal yang saya kuasai. Seandainya waktu itu saya di tes menggambar atau di tes bermain voli pasti saya langsung menerjunkan diri dari lantai 17.

Sesi kedua interview dipegang oleh sekertaris perusahaan. Pertanyaan yang ditanyakan adalah serentetan pertanyaan dasar mulai dari 'ceritakan tentang diri anda', 'apa motivasi anda', 'apa kelebihan dan kekurangan anda' dan sebagainya. Pelajaran yang saya tangkap di sesi ini ada dua. Pertama, pertanyaan dalam interview itu memang tidak akan jauh dari pertanyaan dasar. Oleh karena itu, persiapkan diri sebaik mungkin sebelum terjun ke medan laga. Kedua, ternyata penting sekali untuk menjaga percakapan tetap cair.

Setelah itu, sesi ketiga pun dimulai. Sesi ketiga interview dipegang langsung oleh pemilih perusahaan yang bernama Ibu Tomi. Komentar pertama beliau adalah "tes pertama tadi itu bukan buat mengukur kecerdasan kamu loh, ibu tahu kok kalau kamu ga cerdas ga mungkin dapet IPK segini." katanya sambil menunjuk IP saya (sebenarnya ga sampai cum laude >_<) yang tertulis di CV. Jadi ternyata bagaimana juga IP itu diliat. Meskipun cuma sekilas dan ga terlalu menentukan, tapi IP itu diliat. Makanya hati-hati kalau sedang berlindung dibalik asumsi umum bahwa "IP itu ga diliat kok," IP emang ga harus bagus-bagus amat, tapi harus cukup memuaskan ketika dilihat sekilas.

Kita kemudian mengobrol sedikit dan beliau bercerita tentang sistem kerja di perusahaan tersebut. Dari sesi interview ketiga ini, ada satu hal lagi yang menjadi pelajaran buat saya. Pengalaman organisasi itu amat sangat dilihat, tapi yang dilihat adalah kualitasnya bukan kuantitasnya. Pengalaman organisasi yang relevan dengan dunia pekerjaan juga jauh lebih menjual dari sekedar organisasi biasa. Jadi pastikan kita mendapat posisi-posisi yang bagus/strategis di organisasi yang relevan dengan dunia kerja.

Setelah itu, interview selesai dan saya dipersilahkan pulang. Katanya keputusan penerimaan atau penolakan akan dikirim melalui email dalam jangka maksimal satu minggu.

Saat itu sebenarnya ekspektasi saya tidak begitu tinggi. Secara umum saya memiliki nilai jual rendah karena baru berusia 20 tahun, tanpa pengalaman pekerjaan atau magang, dan bahkan belum lulus. Seandainya saya tidak diterimapun saya cukup bahagia untuk bisa berjalan-jalan ke lantai 17 dan diinterview oleh perusahaan konsultan public relation sungguhan..

Tapi ternyata saya diterima. Email konfirmasi langsung datang tiga hari setelah hari interview. Agak surreal rasanya, bisa mendapatkan pekerjaan dan kestabilan dengan jalan yang selancar ini. Ternyata Bintang Tujuh memang lebih benar daripada Tolak Angin. Sepintar apapun kamu, akhirnya yang menentukan jalan kamu adalah keberuntungan.

Saat ini kadang saya berpikir bahwa bekerja di umur 20 tahun adalah sesuatu yang menyedihkan. Saat orang-orang masih bersenang-senang, saya harus mulai banting tulang untuk anak dan istri di masa depan.

Tapi kemudian saya melihat bayangan saya dicermin dan membayangkan bagaimana saya terlihat saat memakai kostum kerja. Lalu saya berpikir...

I'm awesome. ;-)