Jumat, 15 Agustus 2014

The Fault in Our Star


Hey people! I bet you've already heard about the latest hit on tear-jerker cancer-ridden now-a-major-motion-picture genre: The Fault in Our Stars. This is not a stuff that I usually read, but it only cost IDR 49.000 and my economy has been bad lately so please don't judge me!

Tidaklah bijak untuk menaruh ekspektasi berlebih terhadap The Fault in Our Stars. Ini buku remaja. Buku ini memiliki jalan cerita yang linear, plot twist yang tidak terlalu menakjubkan dan gaya penulisan yang biasa saja. Namun, terlepas dari itu, The Fault in Our Stars tetaplah buku bagus yang tidak ada salahnya dibaca.

The Fault in Our Stars bercerita tentang penderita kanker stadium akhir bernama Hazel yang visi hidupnya adalah 'meminimalkan jumlah orang yang akan bersedih akibat kematiannya'. Hazel seharusnya sudah meninggal, tetapi dia mendapatkan obat eksperimental yang secara mengejutkan bisa memperpanjang hidupnya. Karakter Hazel nyaris sama dengan karakter wanita first person dari setiap novel remaja karangan bapak-bapak: cukup cantik, suka membaca, tidak terlalu suka bergaul, filosofis, takut untuk mencinta dan seterusnya. Ia merasa hidupnya tidak bermakna sampai (kejutan!) dia bertemu dengan seorang lelaki cancer survivor berkaki satu bernama Augustus yang menarik, kurus tapi berotot, filosofis dan seterusnya.

Hazel dan Augustus mulai menjalin persahabatan -lalu cinta- di hadapan bayangan kematian yang tidak terelakan. Hazel takut melukai Augustus sementara Augustus tidak kuasa mengabaikan cinta. Mereka mulai bertukar bacaan, berpiknik ke tempat unik, bertukar lelucon filosofis dan sesekali menghibur Isaac -teman mereka yang buta karena kanker dan ditinggal pacarnya. Dua sejoli ini memahami satu sama lain, tidak seperti setiap orang lain di dunia yang memberikan mereka 'Keistimewaan Kanker' dalam setiap interaksi. Lalu novel ini diakhiri sebuah twist yang sangat bisa diprediksi tapi tetap membuat kita bersedih. Terdengar seperti resep generik? Memang!

Bagi saya pribadi, hanya ada dua hal yang membuat The Fault in Our Stars istimewa.

Pertama, novel ini menggambarkan kontras antara lelaki dan perempuan saat mereka menghadapi kematian. Hal yang paling ditakuti Hazel adalah membuat orang lain bersedih akibat kematiannya. Sementara hal yang paling ditakuti Augustus adalah dilupakan. Sama seperti setiap self-respecting lelaki di dunia, Augustus terobsesi untuk membuat jejak dalam peradaban dunia. Dia ingin melakukan sesuatu yang hebat dan mati dengan terhormat, bukannya mati dalam pertempuran klasik yang menyedihkan antara manusia melawan penyakit. Kontras ketakutan ini diperlihatkan dengan halus dan secara tidak sadar kerap mempengaruhi keputusan-keputusan yang mereka ambil. Sampai akhirnya Augustus dan Hazel terpaksa untuk berdamai dengan ketakutan-ketakutan mereka.

Kedua, novel ini memiliki judul hebat. Makna judul The Fault in Our Stars dijelaskan di pertengahan novel. Alkisah Shakespeare melalui salah satu karakternya pernah berkata bahwa keburukan-keburukan terjadi adalah akibat perbuatan manusia, "it is not the fault of stars". Tentu mudah berkata seperti itu apabila kita adalah seorang Senator Romawi atau seorang Shakespeare. Tapi bagi sepasang remaja yang harus menempuh berbagai macam tragedi hanya untuk bertemu dengan akhir yang pasti, bukankah "the fault is in the stars"?

Akhir kata, sebagai karya sastra The Fault in Our Stars adalah novel yang sangat biasa-biasa saja. Ia tidak sebanding dengan Sister's Keepers yang membuat kita menangis dan mengutuk penulisnya (mengapa kau tega membunuhnya demi uang dan popularitas?!) atau I Don't Know How She Does It yang mampu membuat kita menangisi kematian karakter yang tidak kita kenal. Tetapi apabila Anda memiliki uang ekstra sebesar Rp 49.000 dan ingin mendapatkan perspektif segar tentang hidup, tidak ada salahnya Anda membeli novel ini.

Peace out!

Tidak ada komentar: