Menurut Stephen King, dalam
industri komunikasi strategis terkadang kita menggunakan riset seperti orang
mabuk menggunakan lampu jalan, sebagai pegangan bukannya penerang.
Saat saya bekerja di industri
Public Relation, indikator utama untuk mengukur efektivitas kegiatan kami
adalah Advertising Value Equvalency –disingkat AVE. Hal ini sangat ironis,
karena sejak kuliah kami sudah diajarkan bahwa AVE adalah metode pengukuran
yang buruk. AVE menghitung sebuah publikasi dari nilainya sebagai iklan,
sehingga indiktor yang diukur adalah dimensi ruang dan warna dari artikel yang
muncul (difaktorisasikan dengan positif/negatifnya berita tersebut). AVE
mengabaikan banyak aspek penting dari artikel seperti apakah ia enak dibaca,
apakah ia menarik untuk dibaca, bagaimana brand
dicitrakan dalam artikel tersebut, bagaimana respon audiens setelah membaca
artikel tersebut, dan lain-lain. Satu-satunya alasan mengapa AVE tetap
digunakan adalah karena hasilnya berbicara dalam bahasa yang klien mengerti:
Rupiah!
Orientasi yang terlalu besar
terhadap AVE memiliki dampak buruk yang menjalar. Konsultan PR terpaksa mengejar
keluasan dimensi artikel, bukannya kedalaman publikasi. Tidak penting apakah
publikasi yang muncul menarik atau tidak, akan dibaca atau tidak, memiliki news
value atau tidak, karena yang penting muncul dulu. Akibatnya muncul simbiosis
antara konsultan PR yang mengejar AVE dengan jurnalis pemburu amplop yang tulisannya
tidak optimal. Ujung-ujungnya klien terbuai dengan nilai AVE yang konsisten
berada di angka tinggi, sementara tujuan utama kegiatan PR berupa meningkatnya
citra perusahaan di mata masyarakat bisa gagal tercapai karena rendahnya
kualitas publikasi.
Kembali ke cerita awal tentang
lampu jalan, efek destruktif dari AVE ini disebabkan karena riset digunakan
sebagai pegangan (support), bukan
sebagai penerang (illumination). Penggunaan
AVE sebagai alat untuk ‘menunjukan pada klien bahwa kita berhasil’ mengaburkan
pertanyaan evaluatif yang sebenarnya harus ditanyakan, yaitu ‘apakah kita
berhasil meningkatkan citra perusahaan’. Hilangnya fungsi evaluatif inilah yang
kemudian merusak proses seperti yang telah diilustrasikan.
Mental ‘pegangan bukan penerang’
ini tentu tidak eksklusif terjadi di bidang PR. Saya pernah menyaksikan seorang
AE didorong untuk menyelesaikan sebuah survei yang cukup ekstensif dalam satu
hari. Alasan atasannya adalah ‘yang penting ada grafik dulu di presentasi, agar
klien melihat kita serius melakukan riset’. Bisa ditebak, hasil risetnya kacau
dan strategi yang dibangun atas riset tersebut tidak kalah kacau.
Di kasus-kasus yang lebih serius,
banyak ide kreatif brilian yang mati terbunuh akibat kesalahan penggunaan
Pre-Test (menunjukan iklan pada sampel audiens sebelum peluncuran resmi, untuk
melihat reaksi yang muncul). Stephen King selalu memandang rendah validitas
pre-test. Menurut beliau dalam kondisi nyata audiens tidak mempelajari iklan,
audiens hanya melihat iklan dan menampung ceceran informasinya secara bawah
sadar. Dengan menanyakan reaksi pada sampel pre-test, maka mereka dipaksa untuk
secara aktif berpikir tentang iklan tersebut –sebuah kondisi artifisial yang
merusak esensi pre-test secara keseluruhan.
Di luar keberatan Stephen King,
pre-test sering membawa lebih banyak masalah daripada solusi karena motivasi
yang melandasinya adalah ‘agar marketing manager bisa lebih mudah meyakinkan
BOD’ bukannya ‘untuk mengembangkan ide kreatif sehingga ia bisa lebih efektif
dalam mencapai tujuan’. Akibatnya, banyak sekali ide kreatif yang gagal
melewati pre-test hanya karena komentar-komentar tidak penting sampel yang
sebenarnya tidak memiliki relevansi dengan efektivitas pesan.
Intinya, riset yang produktif
harus dilandasi motivasi untuk meningkatkan efektivitas kegiatan, bukan untuk
menyenangkan klien. Metode yang meragukan seperti AVE dan yang dihujat Stephen
King seperti pre-testing sejatinya dapat memiliki manfaat apabila dilandasi
motivasi yang tepat.
Jangan sampai kita mengikuti
orang mabuk yang mencari kuncinya yang jatuh. Ia mencari di bawah lampu jalan,
meskipun kuncinya jatuh di taman –karena di bawah lampu jalan dia dapat lebih
mudah mencari. Meskipun patut dipahami bahwa klien yang menginvestasikan uang
mereka selalu ingin hasil yang konkrit atau tidak ingin mengambil resiko, bukan
berarti kita boleh meriset hal yang tidak tepat untuk memuaskan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar