Saat Irlandia mengalami kelaparan besar-besaran pada tahun 1845-1542, Pemerintahan Inggris mengirimkan pejabat-pejabat secara silih berganti untuk mengatasi krisis tersebut. Kebanyakan pejabat tersebut akhirnya gagal, tapi ada satu pejabat yang menonjol karena kesuksesan serta metodenya yang unik. Pejabat tesrebut secara konsisten menolak untuk melakukan peninjauan lapangan dan lebih memilih bekerja dari mejanya. Alasannya sederhana, pejabat tersebut tidak ingin emosinya terlibat. Ia tahu apabila ia melakukan peninjauan lapangan, hatinya akan terenyuh oleh kondisi orang-orang yang kelaparan dan Ia akan membuat keputusan-keputusan bodoh karena terpengaruh emosi.
Kaitan antara emosi dan
pengambilan keputusan memang menarik. Di satu sisi, emosi adalah pemicu
pengambilan keputusan yang paling efektif. Di sisi lain, emosi bukanlah dasar
pengambilan keputusan yang bijak. Hal ini sudah disadari manusia sejak lama, salah
satunya oleh Aristoteles yang dalam kajian retorika-nya mengklasifikasikan
berbagai ‘jalur’ emosi seperti rasa marah, sedih, takut dan lain-lain yang
dapat dimanfaatkan untuk melakukan persuasi secara efektif; sambil
memperingatkan bahwa jalur persuasi yang baik dan ‘terhormat’ tetaplah melalui
logika.
Dahsyatnya pengaruh emosi
terhadap pengambilan keputusan kembali terbukti saat foto Aylan yang terbujur
kaku di tepian pantai Turki beredar luas. Aylan adalah pengungsi perang saudara
di Suriah yang sedang berusaha mencari suaka secara ilegal di Eropa. Sontak,
gelombang kesedihan, kemarahan dan rasa frustasi masyarakat internasional
menggelegak; mendorong Uni Eropa untuk menampung lebih banyak pengungsi dan
melonggarkan standar penerimaan pengungsi. Tuntutan ini dikabulkan hampir
segera oleh pemerintah banyak negara.
Keputusan untuk menampung lebih
banyak pengungsi ini sejatinya tidak bijak karena ia tidak berdasarkan
data/statistik atau berdasarkan logika (detail bisa didiskusikan lebih
lanjut/diriset secara terpisah). Pertama, gelombang pengungsi dari Suriah (dan
orang-orang yang tewas tenggelam di perjalanan) sudah ada sejak empat tahun
yang lalu dan Uni Eropa secara sistematis dan terukur sudah menampung pengungsi;
tidak ada alasan valid untuk tiba-tiba meningkatkan pengungsi yang diterima
secara sembrono. Kedua, sumber masalah ada pada konflik di Suriah sehingga
energi masyarakat internasional seharusnya difokuskan untuk menyelesaikan
konflik; bukan menampung pengungsi yang jumlahnya tidak akan habis selama
konflik masih ada. Ketiga, masalah pengungsi tidak selesai begitu mereka sampai
di Eropa; gegar budaya dan kurangnya keahlian pengungsi justru akan membawa
masalah dalam jangka panjang.
Jika mengacu pada Elaborate
Likehood Model, emosi melakukan persuasi melalui rute pheripheral (secara literal berarti ‘kurang penting’). Rute pheriperal lebih efektif melakukan
persuasi karena informasi yang melalui rute ini tidak dipikirkan secara
matang-matang. Namun, perubahan sikap atau pengambilan keputusan yang dihasilkan
rute pheripheral bersifat sementara, mudah
berubah dan tidak dapat diprediksi. Oleh karena itu, diperkirakan setelah segala
emosi mereda, pemerintah yang terkait serta masyarakat internasional akan
kembali kepada sikap awal mereka sebelum foto Aylan beredar –for better of worse.
Begitulah; seandainya fotografer
tidak mengambil foto Aylan atau Aylan tidak terdampar di pantai dengan posisi
yang begitu menyentuh, maka Aylan hanya akan menjadi satu lagi angka yang tidak
signifikan dalam catatan statistik. Ironisnya, justru statistik inilah yang lebih
bijak digunakan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar