Senin, 03 November 2014

Menjual Togua, Eh, Yogyakarta


Apartemen-apartemen baru terus berdiri di Yogyakarta. Salah satu diantaranya mampir ke mejaku hari Kamis yang lalu, meminta agar disusunkan strategi pemasaran ciamik agar seluruh unitnya kandas disikat investor berduit. Ini sebenarnya femonena yang lucu. Sampai tahun lalu, rata-rata pengembang properti masih sepakat bahwa Yogyakarta yang rentan gempa, gunung meletus dan tsunami tidak cocok untuk pembangunan apartemen. Hingga kemudian apartemen Mataram City dibangun dan laku keras, menginspirasi pengembang lain untuk ikut membangun apartemen/condotel. Asyiknya lagi, timing apartment-rush di Yogyakarta ini sangat tepat. Karena pada saat yang bersamaan, Yogyakarta sedang dijual.

Saya hidup di Yogyakarta selama empat tahun, dari tahun 2009 sampai tahun 2013. Kala itu, Yogyakarta masih sangat nyaman. Yang saya sempat saya saksikan hanyalah awal dari penjualan Yogyakarta. Seperti pembangunan hotel 'The Rich' (kudos for the best name ever) yang sepertinya lebih cocok ada di Dubai dibandingkan di Yogyakarta; munculnya billboard bertajuk studying can be fun yang mempromosikan apartemen Mataram City pada pelajar (if you need an apartment to make studying fun, go to UI); dan gonjang-ganjing kecil lainnya.

Seiring waktu berjalan, dibawah pimpinan walikota baru Haryadi Suyuti (satu-satunya cawalkot yang mendapatkan dukungan penuh keraton pada pilkada Yogyakarta lalu), Yogyakarta menjadi semakin sumpek. Beberapa masalah 'karya' Haryadi Suyuti adalah penataan ruang publik yang buruk; kawasan tepi sungai yang semakin tak terurus; menjamurnya pembangunan hotel yang membebani lingkungan kota; hingga banyaknya aktivitas seni budaya yang dihilangkan (Hilal, 2013). Dari sekian masalah ini, 'penjualan Yogyakarta' melalui pemberian izin berlebihan terhadap hotel dan apartemen adalah salah satu yang paling membuat geram masyarakat. Pasalnya, pembangunan hotel dan apartemen ini kerap merusak ekosistem, membuat permukaan air tanah turun dan mengakibatkan warga sekitar mengalami kekeringan. Selain itu, ia juga memunculkan dampak sosial berupa bertambahnya kesenjangan, kemacetan dan turisme yang unsustainable (later on this).

Menariknya tidak hanya kota Yogyakarta saja yang dijual. Di lingkup provinsi pun, Daerah Istimewa Yogyakarta is on sale. Di pesisir Kulon Progo, Keraton (pemerintah provinsi DIY) dan Bupati Kulon Progo sejak 2006 berusaha gigih untuk merebut kawasan pertanian sepanjang pesisir Kulon Progo (yang dilindungi oleh UU Agraria) dan merubahnya menjadi kawasan pertambangan pasir besi. Kasus yang paling terakhir dan paling hits adalah rencana keraton mengubah logo Yogyakarta menjadi Togua dalam sebuah transaksi fantastis senilai 1,5 miliar Rupiah! (more on this later) Hanya tuhan yang tahu berapa persen dari nilai tersebut yang jadi komisi untuk para 'penanggung jawab'.

Meski kritik dari pegiat seni terus mengalir deras, tidak ada tanda-tanda Yogyakarta akan mengubah langkah. Mungkin memang tidak ada kota menggairahkan yang bisa lepas dari cengkraman kapitalisme. Mungkin memang sudah suratan takdir bagi Yogyakarta untuk berakhir sebagai sapi perah manusia-manusia serakah. Mungkin memang sudah waktunya bagi romantisme klasik kota ini untuk usai. Para alumni Yogyakarta seperti saya mungkin hanya bisa menatap sedih dari jauh, sementara penduduk Yogyakarta mungkin hanya bisa tetap tunduk pada Keraton dan kepanjangan tangannya yang getol berjualan.


And the walls kept tumbling down
In the city that we love
Great clouds roll over the hills
Bringing darkness from above


But if you close your eyes,
Does it almost feel like
Nothing changed at all?
[Bastille - Pompeii]

Tidak ada komentar: