Minggu, 31 Agustus 2014

Tinjauan-Tinjauan terhadap Kasus FS

Latar Belakang

Florence Sihombing (FS) adalah mahasiswa S2 Kenotariatan di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Pada tanggal 28 Agustus 2014, beliau mencoba menyerobot antrian pertamax di SPBU Lempuyangan tetapi tindakannya dihentikan aparat. FS kemudian melampiaskan kekesalannya di Path dengan menyebut bahwa orang Jogjakarta 'tolol, miskin dan tidak berbudaya'. Keluhannya ini kemudian tersebar dan memicu berbagai reaksi.

Tulisan ini mencoba untuk membeberkan fakta, tinjauan psikologis, tinjauan sosiologis dan tinjauan hukum atas kasus FS dan perkembangannya.

Isu-isu yang Berkembang

Kasus FS adalah kasus Path ofensif kedua yang tersebar. Sebelum FS, seorang wanita bernama Dinda juga mengalami hal yang sama akibat mengeluhkan tindakan seorang ibu hamil yang meminta tempat duduknya. Dalam kasus FS, selain gelombang bully ada juga gelombang anti-bully yang memperluas konteks wacana. Beberapa isu yang kemudian berkembang dari kasus FS adalah,

1. FS dan kebebasan berpendapat
2. FS dan repulsi masyarakat Jogjakarta terhadap pendatang
3. FS dan keluhan pendatang Jakarta atas kemacetan
4. FS dan proses hukum yang berjalan

Dalam tulisan ini, keempat isu akan dibahas secara singkat.

Tinjauan Psikologis

Florence Sihombing is a rich pretentious fuck. Dalam beberapa tulisannya yang tersebar kemudian, terlihat bahwa dia memiliki kejenuhan akut terhadap Jogjakarta dan perspektif yang sangat miring terhadap masyarakat Jogjakarta. Hal ini bisa disebabkan berbagai faktor, salah satunya adalah kebiasaannya menjadi manja dan menjadi gaul di kota asal yang tidak bisa berlanjut di Jogjakarta. Fenomena ini memang umum terlihat di mahasiswa pendatang meskipun derajatnya bervariasi dan biasanya hilang setelah si pendatang beradaptasi.

Tinjauan Sosiologis

Dari pengamatan penulis, ada perbedaan antara kasus FS dan kasus Dinda dalam hal kemunculan gelombang anti-bully. Dalam kasus Dinda, gelombang anti-bully baru muncul pada sekitar h+3 meledaknya isu. Itupun jumlahnya kecil dan karakternya spesifik. Sebaliknya dalam kasus FS gelombang anti-bully hampir muncul seketika setelah isu meledak. Argumentasi gelombang anti-bully berkisar pada 'dia kan cuma curhat' atau 'dia kan engga fitnah, orang Jogja emang banyak kok yang sesuai perkataan dia'.

Dari kecepatan munculnya gelombang anty-bully ini, kita bisa menyimpulkan bahwa arus utama lini masa media sosial beranggapan bahwa pelanggaran nilai moral Dinda lebih besar dari FS. Dalam kata lain, tidak memberikan tempat duduk pada ibu hamil dianggap lebih buruk daripada menghina satu provinsi sebagai 'tolol, miskin dan tidak berbudaya'. Ini menunjukan toleransi terhadap nilai-nilai 'pretentiousness' lebih besar dibanding toleransi terhadap 'selfishness'.

Seiring waktu, argumentasi yang dikembangkan oleh kelompok anti-bully semakin melebar. Ini terlihat dari lahirnya antitesis berupa 'hati masyarakat jogja sudah keras' dan 'masyarakat jogja keras terhadap pendatang' yang menggeser paradigma victim dari 'masyarakat jogja' ke 'Florence Sihombing'. Secara pribadi, penulis tidak menyetujui antitesis ini karena secara tidak langsung pemikiran tersebut mentoleransi nilai-nilai pretentiousness, mengabaikan masyarakat luar Jogja yang juga marah terhadap FS dan mendegradasi karakter masyarakat Jogjakarta secara tidak adil. Apabila ada badut yang masuk ke kamar Anda, mengencingi kasur Anda lalu Anda memarahinya, apakah adil bila Anda dikatakan 'tidak memiliki hati' dan 'keras terhadap badut'?

Pemikiran 'masyarakat Jogja keras terhadap pendatang' secara khusus memiliki dampak sistemik yang buruk. Pemikiran ini mengaburkan identitas Florence dari 'penyerobot antrian yang pretentious' menjadi 'seorang pendatang'. Masyarakat Jogja kemudian dianggap entitas rasis yang memarahi Florence karena dia 'orang luar', bukan karena dia menghina Jogjakarta. Pemikiran seperti ini bisa memecah keharmonisan Jogjakarta dan menumbuhkan prasangka tidak adil di hati para pendatang.

Antitesis lain yang relatif unik muncul adalah 'Apabila Florence dibully, bukankah pendatang Jakarta yang mengeluh atas kemacetan juga bisa dibully'. Pengikut pemikiran ini, menurut penulis, memiliki kesalahan deduksi akibat kegagalan membaca data. Florence melakukan kesalahan dengan menyerobot antrian spbu (x) lalu menghina masyarakat Jogjakarta secara pribadi dengan menggunakan kata tolol, miskin dan tidak berbudaya (y) maka dia dibully (z). Dalam kasus pendatang Jakarta yang mengeluh atas kemacetan, unsur kesalahan (x) dan hinaan pribadi (y) sama-sama tidak muncul sehigga bully (z) tentu tidak mungkin terlaksana.

Tinjauan Hukum

Perkembangan hukum kasus FS terhitung cepat dan mengejutkan. Dimulai ketika sebuah LSM (Jatisura) mengadukan FS dengan dasar hukum UU ITE. FS merespon dengan menyewa kuasa hukum tanpa mencoba upaya damai. Pihak kepolisian kemudian membawa kasus ini ke tahap penyidikan. Pada awalnya, banyak pihak yang menganggap FS tidak akan terkena hukuman pidana karena kesalahannya tidak diatur oleh UU ITE. Kenyataannya, polisi menetapkan status FS sebagai tersangka dan langsung menahan FS. Pihak kepolisian menyatakan bahwa FS ditahan karena tidak kooperatif serta kekhawatiran melarikan diri, mengulangi pidana dan menghilangkan barang bukti.

Ini berarti sifat pretentious FS sekali lagi menjerumuskannya. Seharusnya bila FS bertindak baik selama pemeriksaan, polisi tidak perlu menahannya karena yang berhak menentukan putusan dan hukuman adalah hakim saat pengadilan. Kenyataannya, FS berlaku sedemikian buruknya saat pemeriksaan hingga kepolisian terpaksa menahannya.

Menyambut keputusan ini, reaksi lini masa tercampur aduk. Meskipun secara teknis tindakan kepolisian tidak salah, ada kelompok arus utama lini masa yang menentang penahanan FS. Argumen kelompok penentang ini dapat dikelompokkan ke dalam tiga grup dimana ketiganya tidak memiliki bobot logis yang cukup, yaitu:

1. 'Tidak seharusnya FS ditahan atas dasar UU ITE' - argumen ini salah karena FS ditahan karena dikhawatirkan mengganggu proses hukum dengan cara melarikan diri atau menghilangkan barang bukti, serta kekhawatiran FS akan mengulangi hinaannya terhadap masyarakat Jogjakarta dengan dampak sosial yang lebih buruk. Penahanan FS saat ini tidak ada kaitannya dengan UU ITE.

2. 'Banyak kasus lain yang lebih parah mengapa mengusut kasus FS' - argumen ini salah karena besar kecilnya kasus tidak berkaitan dengan kekebalan di muka hukum. Apa karena banyak pembunuhan, kasus pencurian tidak perlu diusut?

3. 'Kepolisian hanya sigap di kasus yang ngehits seperti ini' - menurut penulis argumen ini muncul karena beberapa golongan netizen hanya mengikuti kasus yang hits tapi tidak mengakses informasi kasus-kasus yang tidak ngehits. Sehingga generalisasi yang salah akibat tidak cukupnya data diambil.

Kesimpulan

Menurut hemat penulis, kemarahan masyarakat Jogjakarta terhadap FS dapat dijustifikasi dan penahanan FS telah sesuai dengan proses hukum. Penulis tidak membenci FS secara pribadi tetapi FS perlu mendapatkan konsekuensi agar nilai-nilai 'pretentiousness' tidak menyebar lebih jauh.

Tidak ada komentar: