“If you need a job to live, than you either need a new job or a new life.” –Chief Webber.
Dear reader,
Bagi banyak orang, hari Minggu adalah hari yang dinanti-nanti. Hari Minggu merupakan kesempatan bagi kita untuk lepas dari rutinitas weekday yang melelahkan, sekaligus memberikan kita keluangan untuk bercengkrama bersama keluarga, bermain bersama teman, atau sekedar menekuni hobi. Dengan premis yang menjanjikan tersebut, siapa sih yang tidak menyukai hari Minggu?
GUA. Gw sama sekali tidak menyukai hari Minggu. Alasannya, gw adalah seorang penganut ideologi squidwarisme. I tend to see things negatively. I hate all the joy, the laugh, the carefreeness, dan segala macam hal indah lain yang dibawa oleh hari Minggu. Selain itu, gw juga tidak memiliki prasyarat yang diperlukan untuk menciptakan hari Minggu yang indah. I’m far from familiy. I have a lot of friends, of course, but no one special enough to turn on my day. And worse, I don’t have any hobbies. Dulu, satu-satunya yang membuat hari Minggu gw cukup berarti untuk dinanti adalah jadwal badminton rutin setiap Minggu pagi. Tapi sekarang, rutinitas itu telah lenyap ditelan oleh perubahan-perubahan yang dibawa oleh waktu. -,-
Dan yang membuat hari Minggu lebih buruk adalah: surat kabar Minggu. Pada weekday, surat kabar biasanya berisi berita-berita berat, isu-isu yang memusingkan, kabar mengkhawatirkan, dan sejenisnya. Informasi-informasi semacam itu merupakan makanan favorit gw, karena mereka menegaskan kenyataan bahwa dunia adalah tempat yang kacau. And believe it or not, gw sangat bahagia ketika dunia ini kacau. Sayangnya, pada hari minggu, informasi-informasi favorit gw ini menghilang. Digantikan oleh pembahasan yang lebih santai, humanis, dan ‘indah’.
Contohnya, hari ini Kompas membahas tentang bagaimana rendang dinobatkan menjadi makanan paling enak di dunia (berdasarkan survei CNN). Dude! Siapa juga yang peduli sama rendang saat Palestina harus pontang-panting buat dapetin persetujuan 9 dari 15 anggota dewan keamanan? Siapa yang peduli sama nasi goreng (peringkat dua makanan paling enak) saat Uni-Eropa harus memutuskan antara menendang Yunani dari UE atau memberikan lebih banyak dana talangan? Siapa yang peduli sama rendahnya usaha pemerintah untuk mempromosikan kuliner saat pelaksanaan Sea Games terancam gagal total? Pada hari-hari normal, para pembaca surat kabar akan menganggap remeh isu rendang tersebut! Namun, sihir hari Minggu membuat orang-orang lebih peduli akan rendang daripada isu-isu nyata. Mengerikan bukan?
Sisi baiknya, selalu ada sejumput hal-hal menarik dalam koran hari Minggu. Di koran Tempo hari ini, ada dua tulisan yang membuat gw tergugah. Tulisan pertama adalah rubrik ‘profil’ yang mengulas tentang Maudy Ayunda. Maudy adalah gadis kelahiran 19 Desember 1994 yang masih duduk di kelas 3 SMA. Namanya terkenal lewat perannya dalam beberapa film ‘bermutu’ (atau setidaknya, niatnya bermutu) seperti Untuk Rena, Sang Pemimpi, Rumah Tanpa Jendela, serta Tendangan dari Langit. Yang membuat gadis cantik ini berbeda adalah: (1) dia berbakat dalam bidang musik serta (2) DIA SUKA FILSAFAT DAN POLITIK. Ketika ditanya kenapa masih jomblo, Maudy beralasan dia takut pasangannya ‘susah’ kalau diajak ngomong hal-hal yang berat dan tak lazim. Dude! Gw harap suatu saat jalan takdir gw bersinggungan sama do’i. -,-
Tulisan menarik yang kedua adalah tulisan Thomas Koten yang berjudul ‘Sikap Religius Para Saintis’. Koten membahas tentang sisi religius para ilmuwan yang kerap dituduh ateis. Masalahnya adalah, ilmuwan (atau orang cerdas, minimal IQ superior lah ~_~) cenderung tidak menyukai konsep teologis yang diusung oleh agama-agama mapan. Albert Einstein bersabda ‘para teolog terlalu memandang dan memahami tuhan sebagai sosok personal dengan kehendak maha-niscaya yang hanya menghukum dan memberi pahala bagi mahluk-mahluk-nya’. Gw setuju sama gagasan kakang Einstein ini, karena gw lebih suka memahami tuhan sebagai entitas deity yang netral daripada sosok yang punya ‘keinginan’, yang ‘memihak pada salah satu golongan’, dan dalam berbagai kesempatan ‘turun tangan langsung untuk mengubah sejarah’. Wouldn’t it be nice if –as Spinoza stated- ‘Tuhan adalah struktur pengatur kosmis yang mempersonal’?
That’s all folks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar