Sabtu, 19 Mei 2012

Depression 2


Once upon a time, she kissed his cheek in front of me.

"Tega amat?" adalah reaksi pertama gw terhadap kejadian tersebut.

Bahkan saking terkejutnya gw, selama beberapa hari setelahnya, setiap ada kesempatan untuk ngobrol berdua sama cewe, gw selalu nanya "seandainya lo tau ada orang yang suka sama lo dalam satu ruangan, terus tiba-tiba pacar lo datang ke ruangan tersebut, apakah lo bakal nyium pipi pacar lo didepan orang yang suka sama lo tersebut?" 





10000 dari 10000 wanita menjawab 'tidak'.

Dari hasil penelitian empiris tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa...

1. She's not a woman.

Atau.

2. She's a bitch.

Tapi coba kita tilik fenomena ini dari sisi lain. Seperti yang kita pelajari dalam filsafat komunikasi, selain secara empirisme, kita memiliki pilihan untuk memandang suatu masalah dengan paradigma rasionalisme.

Jadi, mari kita coba abaikan hasil riset terhadap 10000 wanita diatas dan coba kita fokuskan penelitian kita pada kejadian di malam itu.

Waktu itu, kita lagi ngerjain tugas kelompok. Saat sedang sibuk membagi tugas dan menganalisis masalah, tiba-tiba pacarnya dateng. Pacarnya kemudian ikut nimbrung bersama kelompok kami, ikut bercanda bercanda, hingga kemudian terjadilah insiden yang tersebut diatas.

Setelah melihat kejadian tersebut, gw memilih pindah tempat duduk ke balkon kafe. Beberapa menit kemudian, dari balkon kafe tersebut, gw melihat dia keluar bersama pacarnya. Izin makan, katanya.

Sekitar setengah jam kemudian, dia kembali.

Sendiri. Pacarnya balik.

Dia kemudian mengerjakan tugasnya dan secara konsisten melaporkan progress tugasnya ke gw. Selama proses tersebut, gw berusaha membunuh personal feeling dan memberikan penilaian dan rekomendasi yang objektif terhadap hasil kerjanya. Tapi usaha ini gak begitu berhasil, karena sepertinya sikap gw jadi terlalu dingin dan intimidatif.

Setelah tugasnya selesai, sebelum pulang tiba-tiba dia marah sama gw.

That's the thing with women, dude. Mereka yang nusuk-nusuk kita, terus mereka juga yang kemudian marah. -_-

Kalau seandainya dia yang suka sama gw, terus kemudian gw yang nyium pipi orang didepan dia, gw ngertilah dia marah kenapa.

Kalau seandainya gw yang tiba-tiba ninggalin kerja kelompok buat makan sama pacar, gw juga bisa ngerti alasan dia marah.

Lah, ini?

Kayak ada penjambret yang ngambil tas seorang ibu-ibu, terus bukannya kabur, penjambret tersebut malah balik lagi dan marahin ibu-ibu tersebut. "Ibu ini gimana sih!! Kok mau aja dijambret!!"

Untungnya, gw udah belajar Cognitive Dissonance Theory. Jadi gw ngerti alasan kenapa dia tiba-tiba marah.

Alasannya satu: dia merasa bersalah atas kedatangan pacarnya tersebut.

Dia berusaha menghapus rasa bersalahnya (menambah positive consonance) dengan cara mengerjakan tugasnya secara giat dan 'memamerkannya' ke gw, tapi karena respon gw yang terlalu dingin dan matematis, perasaan bersalahnya tersebut gak kehapus.

Akhirnya, sistem ekuilibrum mental dia runtuh oleh perasaan bersalah. Secara alamiah, ketika sistem ekuilibrum mental telah runtuh, maka manusia akan bertindak agresif dan menyalahkan sistem eksternal.

Dalam kasus ini, sistem eksternalnya gw.

It's kinda cute really. I just provoke her with one small sarcasm, and she blow the shit out of herself.

"Apaan sih man??!!! Gw kan udah ngerjain tugas gw!! @^%$^%$@#&%#@%&^!!!!!!" katanya sambil lempar-lempar pulpen.

Kemarahan dia terus berlanjut selama sepuluh atau dua puluh menit, sampai akhirnya kita turun dari kafe tersebut.

Di parkiran, saat kita tinggal berdua. Dia mengendarai motornya ke arah gw. I tought dia masih marah dan berencana untuk ngelindes gw hidup-hidup, tapi dia berhenti tepat sebelum ujung hidung motornya kena ke gw.

"Maaf ya man, tadi gw lagi capek." katanya.

"Sure," bales gw dengan nada tidak peduli.

Tapi akhirnya gw memutuskan untuk berhenti berpura-pura bahwa gw ga peduli.

"Jangan cium pipi dia depan gw." kata gw.

"Yaaaaaaaaaaaaaa," jawabnya.

Kesimpulannya?

Well... She's a bitch with guilty conscience...

And it's fucking cute. :)

Tidak ada komentar: