Ada satu plot klasik dalam romantika modern.
Plot tersebut dimulai dengan surfing di Facebook sampai menemukan wanita cantik di friendlist anda/teman anda.
Dilanjutkan dengan usaha pedekate sampai jadian.
Diakhiri dengan hubungan yang datar dan penuh ketidakpuasan, tapi gak apa-apa karena yang penting ada temen buat ngisi waktu saat selo dan ada teritori baru buat dieksplorasi.
Tamat.
Sangat dramatis dan menyentuh bukan?
I was being sarcastic.
I mean, bukankah harusnya cinta itu tumbuh dengan cara yang lebih spesial?
Yeah, di satu sisi kita gak bisa memungkiri fakta bahwa cinta itu cuma kombinasi dari hormon. Kita gak bisa mengabaikan kenyataan bahwa cinta itu cuma make-up dari nafsu alamiah manusia. Tapi disisi lain, I want to (and try to) believe that love is a magical thing. Kayak di pilem-pilem.
Hasil dari sesuatu yang dramatis, bukan hasil surfing di facebook.
That's why its always takes a while for me to fall in love. And its always takes a longer while for me to move one.
Nah, ketika gw kehilangan dia. Gw bukan cuma kehilangan seorang gebetan.
Gw juga kehilangan teman baik gw dan partner utama gw.
Hah, teman baik?
Ya, kalau dari jauh emang susah banget untuk memahami bagaimana pria dengan kepribadian seperti gw bisa berteman dengan cewe dengan kepribadian seperti dia. Enggak heran kalau kemudian banyak orang yang ngira kalau dia deketin gw cuma buat manfaatin otak gw. Enggak heran kalau kemudian banyak orang yang ngira kalau gw deketin dia cuma karena pantatnya bagus.
Tapi engga loh, kita temen beneran. -_-
Lalu, saat dia mulai pacaran dan gw sadar bahwa gw suka sama dia, tiba-tiba secara misterius kita enggak temenan lagi.
Baiklah, terus partner utama?
Ya, emang secara logika orang kayak gw gak bakal terlalu butuh partner akademis buat menamatkan kuliah di komunikasi. Tapi faktanya, gw selalu lebih efektif kalau di sisi gw ada dia. Dia ambisius, disiplin, dan perfeksionis. Selalu bisa nyeret gw dari zona kemalasan dan merangsang gw untuk mengaktifkan sebanyak mungkin sel otak saat menyelesaikan tugas. Tanpa dia, mungkin gw bakal menyia-nyiakan otak gw kaya waktu smp dan sma.
Saat dia mulai pacaran, tiba-tiba sisi ambisius, disiplin, dan perfeksionis dia saat kuliah menghilang.
Well, bukan salah dia juga... Siapa sih yang bakal peduli sama kuliah kalau calon suami di masa depan udah bisa ngasih makan delapan turunan?
Yang lucu adalah, suatu hari dia mengeluh "nilai gw semester ini ancur nih,"
Gw menjawab dengan mata yang menyipit,
"bitch please, nilai lo rusak gara-gara kebanyakan maen sama pacar lo. Nilai gw rusak gara-gara lo tinggal."
Kesimpulannya, gw kehilangan gebetan, teman baik, dan partner dalam satu waktu.
Pesan moral yang dapat kita ambil?
Satu, jangan pernah jatuh cinta sama teman baik kamu.
Dua, jangan jadikan cewe paling cantik di kelas lo sebagai teman baik. Chances are, you'll fall for her eventually. -___-
Akhirnya, di fase depression ini gw sempat jatuh ke satu titik dimana gw berharap gw ga pernah jatuh cinta sama dia. Karena bahkan setelah semua kegalauan yang dia berikan, gw masih kangen temen baik dan partner gw.
Seperti yang dibilang oleh Frente...
Whenever I got this way, I just don't know what to say.
Why can't we be ourselves like we were yesterday?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar