Kamis, 10 Mei 2012

Bargain

Pria adalah pejuang.

Kami membuat api, roda, senjata, mesin hidrolik, mesin uap, listrik, komputer, dan iPad.

Kami secara konstan menantang dunia, merubah hal-hal yang tak kami suka. Kami tak pernah betah di zona nyaman, selalu menjelajah ke zona tidak nyaman, kemudian merubah zona tersebut menjadi jajahan kami. Kami suka kompetisi, kami suka berperang, kami suka membangun.

Sebaliknya, wanita adalah peringkuk.

Wanita, dengan pengecualian yang terbatas, lebih suka meringkuk dalam zona nyamannya. Tentu saja ada banyak contoh wanita yang meretas jalan keluar dari kungkungan zona nyaman seperti Hellen Keller, Margaret Tacher, Florence Nightihale, mbak Pulung Uci dan banyak lagi. Tapi sebagian besar... I dare you to say the opposite, sebagian besar lebih suka meringkuk dalam zona nyaman.

Maybe it's the combination between the chromosome and thousand years of cultural oppression from men, or maybe it's maybelline.

Dari interaksi dengan wanita yang gw alami sejauh ini, mulai dari ibu gw sampai gebetan gw, ada satu hal yang gw pelajari: jangan pernah usik wanita dalam zona nyaman mereka.

Like seriously, JANGAN.

Kecuali... kalau... *efek flashback*

Seminggu setelah peristiwa ini, gw dan dia berada dalam fase saling mengabaikan. Gw gak bikin inisiatif untuk minta maaf, dia gak ngasih kode yang memerintahkan gw untuk minta maaf. I mean, of course dalam fase ini gw melalui countless sleepless night dihantui dengan perasaan bersalah dan rasa rindu sementara dia bersenang-senang dengan pacarnya, tapi intinya... kita saling mengabaikan.

Terus, pada suatu kamis setelah suatu kelas, tanpa disangka dia ngajak gw ngobrol. (Perilaku ini gw kasih istilah 'intervensi'. Definisi resmi intervensi adalah kejadian dimana dia mendeteksi perilaku dingin atau kebete-an gw kemudian ngajak gw ngobrol buat mencairkan perilaku gw.)

"Oke," katanya sambil memasang wajah termanisnya, "maaf minggu lalu kemarin aku lagi bad mood, tapi kamu kenapa sih?" lanjutnya.

I have to admit bahwa meskipun dia ketawanya juelek banget kaya kuda hamil diaborsi, tapi senyum, mata berbinar, dan wajah manisnya itu enggak ada yang bisa ngalahin.

"Engga kenapa-kenapa," jawab gw dengan dingin.

Dia terus mendesak, dan gw punya jawaban bagus yang bisa bikin melting sebenernya, tapi ini agak berbaya. Gw pengen teriak:

"GW BETE GARA-GARA GW CUMA BISA TIDUR DI SEBELAH LO PAS KEMAREN DOANG SEMENTARA ADA ORANG LAIN YANG KELAK BAKAL BISA TIDUR DI SEBELAH LO SETIAP MALEM. GW CEMBURU. GW SAYANG ELO WOI, SAYANG."

Tapi masalahnya adalah, kalimat dramatis tersebut bakal nendang dia keluar dari zona nyamannya, dan itu berbahaya. Kalau dia keluar dari zona nyaman, maka dia bisa lebih marah, dia bisa lebih iflif, dan dia bisa ninggalin gw lebih jauh. Belum saatnya itu terjadi.

Jadi gw terus menghindar "udah lah, engga usah dibahas."

Tapi dia terus mendesak dan sulit sekali bilang 'tidak' pada wajah semanis itu.

Maka akhirnya gw katakan jawaban bagus diatas, dengan bahasa yang diperhalus. Habis kata-kata itu selesai, gw merem. Kaya di film kartun dimana sang karakter melakukan sesuatu yang amat sangat salah dan ledakan yang sangat besar akan segera terjadi. "Wah, berakhir sudah," kata gw dalam hati. Apalagi, gw ga inget kapan terakhir kali gw bilang sayang sama seseorang, dan orang tersebut engga merasa ilfeel.

Satu detik...

Dua detik...

Tiga detik...

Gw buka sebelah mata, dan yang ada didepan gw bukanlah wajah seorang wanita yang ilfeel.

Dia... sumringhah? ceria? senang? Engga taulah, tapi intinya dia senyum dengan lebar.

"Terus gimana doooong?" katanya.

"Gak tau," kata gw singkat karena gw masih shock. Gak ada ledakan yang terjadi.

"Terus gimana donnnnngggg?" katanya lagi.

Well...

Tidak ada komentar: