Sabtu, 26 Mei 2012

3

Dari lima pagi yang gw habiskan bersama dengan dia, satu-satunya peristiwa yang 'berarti' adalah ketika pacarnya mau datang dan gw disuruh pulang. Saat itu, untuk pertama kalinya dalam sejarah, gw mencicipi sedikit rasa menjadi selingkuhan. I mean, of course yang gw dan dia lakukan jauh dari kata selingkuh. Tapi seengganya gw tau rasanya dibilangin, "haduh, suamiku pulang! ayo cepat pergi atau sembunyi!"

...

...

...

Nevermind. -__-

Di hari kelima, akhirnya kami berhasil menyelesaikan proposal lomba. Seperti yang telah gw ceritakan sebelumnya, pada hari itu dia akan pulang kampung ke Ujung Genteng. Saat gw pamit, dengan nada setengah bercanda dan setengah galau, gw memulai percakapan terakhir kita hari itu.

"Sebenernya gw takut loh kalau lo pulang kampung,"


"Hah, kenapa?"


"Ntar kaya dulu lagi. Pas libur tiba-tiba lo nemu orang baru."


"Hehe."


"Terus ninggalin gw,"


"Gak bakal lahhh... kan sekarang udah ada."


"Kali aja ada lagi, ntar gw harus saingan sama tiga orang berarti"


"Idihhh.."

Setelah itu gw melakukan sedikit kontak fisik yang wajar terus pulang.

Sebenarnya, hal yang gw bilang ke dia itu sama sekali bukan isu utama yang gw pikirkan. Isu utamanya adalah, dia bakal pulang ke Ujung Genteng berdua sama pacarnya. Artinya mereka bakal duduk berdual selama hampir 10 jam non-stop di bangku yang sempit dan gerbong yang sepi.

Dan ini bikin jealous serta depresi.

Gw tau dalam kondisi seperti itu, gw ga bakal bisa tidur tenang malem itu. Akhirnya, gw mencuci muka di wastafel dan kemudian menatap bayangan diri dalam cermin. "Baiklah, otak." kata gw pada diri sendiri. "Solusi apa yang tepat supaya gw bisa tidur tenang malem ini?"

Bayangan gw dalam cermin menjawab dengan senyuman sinis, "mau melakukan sesuatu yang bodoh?"

"Sure," bales gw.

"Ayo kita ke Semarang."

Ini tentu saja adalah hal yang bodoh. Satu, gw ga punya duit. Dua, gw baru satu bulan memakai motor. Dalam kondisi seperti itu, melakukan perjalanan panjang sendirian adalah hal yang sangat beresiko. Tapi, daripada harus melewatkan malam dalam kegalauan yang berkepanjangan, hal bodoh ini terdengar seperti pilihan yang menarik.

Jadi, gw langsung kontak temen gw yang ada di Semarang serta mengisi penuh bensin motor gw. Tanpa ba, bi, bu, hanya berbekal jaket biasa dan helm hadiah ulang tahun dari dia, gw berangkat ke Semarang.

Perjalanan selama hampir tiga jam ke Semarang itu adalah salah satu hal ternikmat yang pernah gw rasakan. Gw lari dari kenyataan, secara harafiah, dengan kecepatan 110 km/jam. Kalau jalanan lagi sepi, sambil ngebut gw nyanyi "no, no, I can't believe, you leaving me-e-e-e-e!!! stay with me baby... Uuuhh, stay with me baby!!"

Setiap ada motor gede yang nyusul, gw iklhas. Tapi begitu ada motor matik yang nyusul, gw teriak "know your place, faggot!!" sambil nyusul balik motor matik tersebut.

Saking dramatisnya perjalanan tersebut, sepatu gw sampai jebol ditengah perjalanan.

Di Semarang, gw bertemu dengan dua teman gw. Satunya laki-laki, orang yang waktu SMA berhasil pacaran sama gebetan gw saat SMP: Reza. Satunya lagi perempuan, temen satu aksel saat SMP sekaligus salah satu wanita paling cantik di dunia: Magna. Kita bertiga akhirnya makan bareng, nonton, dan beli sepatu. Dalam kata lain, lari dari kenyataan dengan buang-buang duit.

Pada satu titik, gw sedikit cerita ke Magna tentang dia. Salah satu reaksinya yang paling menohok adalah "Kok kamu segitu ngebetnya sih man? Emang dulu kalian pernah jadian?"

Hmmp. Enggak.

Gw pulang dari Semarang pada malam hari yang dihiasi dengan gerimis. Hawanya dingin, jalannya licin, dan gw sempet nabrak mobil. -___-

Hal yang paling menarik dari perjalanan pulang adalah kegelapannya. Selama dua hari di Semarang, gw telah berhasil lari dari kenyataan sampai puas. Sekarang, gw kembali ke kenyataan. Jalannya gelap, suram, dan gw gak bisa ngeliat apapun kecuali lampu belakang mobil yang ada di depan gw. Hujannya semakin membesar, dinginnya semakin menusuk, dan gw mulai menggigil. Tapi ga ada yang bisa gw lakukan selain maju terus karena Semarang telah jauh di belakang dan Magelang masih jauh didepan.

"Kapan ini bakal berakhir?" tanya gw pada diri sendiri dengan gigi yang bergemeletuk.

Tapi akhirnya siksaan itu berakhir.

Jalan yang gelap telah habis, digantikan oleh jalan yang diterangi oleh keramahan kota.

Gw berhenti di Indomaret terdekat untuk membeli minum dan kebetulan ada tukang martabak di depan Indomaret tersebut. Akhirnya, sambil makan martabak coklat dan minum teh botol sosro, gw tersenyum dan berterimakasih pada tuhan atas pelajaran langsung yang ia berikan.

Ketika lo berhenti kabur dan mulai berjalan untuk menghadapi kenyataan, jalannya sangat dingin dan gelap. Tapi, eventually, lo bakal sampai kota dan menemukan bahwa di ujung kenyataan kelam yang lo hadapi, ada satu kehangatan yang menanti.

Mungkin petuah ini gak valid secara empiris, tapi enggak apa-apalah.

Tidak ada komentar: