Selasa, 09 November 2010

Darurat Merapi, Libur, dan Apa yang Harus Saya Lakukan

Pendahuluan

I know it's sad, but I don't give a damn about the weather, and it never gives a damn about me. -Panic! at the Disco entah dalam lagunya yang mana.

And I know it's sad, tapi ketika dalam dua minggu terakhir seluruh orang Indonesia memfokuskan pandangan dan jiwanya kepada merapi, gw yang literally hanya berjarak 25 km dari puncak merapi malah sangat-sangat santai. Ibu gw bilang empati gw rendah, Gita bilang sensivitas gw menyedihkan, dan mungkin mereka benar. Karena ketika erupsi-erupsi awal meluncur, ketika sukarelawan-sukarelawan generasi awal berangkat ke puncak, ketika orang-orang mulai pada takut, rungsing, cemas, khawatir, dan mengungsi, pada saat yang sama nyaris tidak ada yang berubah dalam rutinitas gw. Baik secara fisik maupun secara mental. I know it's sad, tapi bisa dibilang satu-satunya pengaruh aktivitas merapi terhadap kehidupanku adalah ketika abu merapi untuk pertama kalinya sampai ke daerah kota Yogya. Waktu itu seperti biasa jam setengah enam gw berangkat jogging rutin, dan ketika gw keluar... Darn! Semuanya berubah menjadi putih. Tapi bukannya takut atau mengurungkan niat untuk jogging, gw malah menikmati sensasi baru yang ditimbulkan oleh abu tersebut. Partikel-partikel mirip salju yang berterbangan yang bikin gw bersenandung 'let it snow' di sepanjang jogging. Jejak kaki yang tercetak setiap kaki gw mendarat di tanah yang menciptakan efek-jogging-di-pantai. Whew... What an amazing sensation. Bisa ditebak selesai gw jogging, jaket gw yang hitam-abu polos tiba-tiba memiliki motif polkadot putih dan substansi campuran antara keringat dan abu vulkanik melekat di sekujur tubuh gw. Dan bodohnya... waktu itu gw ga pake masker sehingga mungkin sekarang di paru-paru gw, abu vulkanik bertebaran dengan santainya. Untungnya sistem respirasi gw belum kenapa-kenapa sejauh ini. -_-

Dan begitu pula setelah-setelahnya. Ketika wilayah bahaya merapi diperpanjang dari sepuluh menjadi lima belas kilometer. Ketika media tidak bosan-bosannya memajang gambar merapi yang mengepulkan asap. Ketika korban-korban yang cukup sial untuk terkena awan panas terus bertambah. Ketika relawan makin giat dan sumbangan semakin mengalir. Semua itu terasa berada di tempat yang sangat jauh (meskipun sejatinya sangat dekat) dan tidak memakan banyak tempat dalam care-list gw. Rutinitas gw tetap normal. My desperate love life, kuliah, perpustakaan, dan film masih menjadi pusat dunia gw. I know it sad, but it would be nice seandainya gw bisa tetep hidup dengan rutinitas normal meskipun merapi terus-terusan erupsi dan orang-orang sekeliling gw panik mau ngungsi atau sibuk jadi relawan. Sayangnya...... bukan itu yang terjadi.

Darurat Merapi

Jumat, 5 November 2010. Alarm hape gw berbunyi tepat jam lima. Biasanya gw langsung berbisik lirih "oke," terus melakukan sedikit streching dan berangkat jogging rutin. Tapi entah kenapa pagi itu gw males banget. Alhasil gw baru keluar kamar setengah jam kemudian. Itupun karena desakan kantung kemih udah engga bisa ditahan lagi. Dan ketika gw keluar, sekali lagi abu telah bertebaran dimana-mana. Saat itu gw cuma bilang "again?" dengan nada datar dan tidak tertarik sama sekali, sambil sedikit bersyukur karena gw ga jadi jogging karena jogging pake masker is a pain in the ass. Tapi pas kembali ke kamar untuk ngecek handphone gw sedikit terkejut. Pertama ada sms ngajak sarapan dari Gita. Ini sangat mengejutkan karena sejak dia terkena bad mood struck minggu lalu, dia udah ga pernah ngajak sarapan lagi. Tapi yang lebih mengejutkan, ada sms pemberitahuan bahwa seluruh kegiatan perkuliahan (termasuk UJIAN komunikasi organisasi yang seyogyanya diadakan pada pukul satu) dibatalkan. Disini gw mulai memiringkan kepala dan bergumam 'what the?'

Ternyata, selama gw tidur dengan tenang semalam, merapi meledak. Yeap. Meledak. Berbeda dengan lelehan erupsi yang rutin dan biasa terjadi sejak dua minggu yang lalu, kali ini merapi bereksplosi. Usut punya usut, eksplosi yang sekali lagi menebar abu ke kota Yogya dan sukses memperpanjang wilayah bahaya merapi menjadi 20 kilometer dari puncak ini hanya merupakan 5% dari kapasitas ledakan merapi yang sesungguhnya. Dan ada kemungkinan ledakan yang lebih besar lagi akan terjadi karena Merapi diperkirakan masih menyimpan berton-ton kemarahan dalam perutnya. Well, things is getting serious.

Melihat krisis yang ditimbulkan merapi ini, pihak UGM kemudian berinisiatif untuk meliburkan seluruh kegiatan belajar dalam satu minggu. Akhirnya aktivitas merapi officially disturb my routinity dan bisa ditebak, kebanyakan mahasiswa langsung mengevakuasi diri ke kampung halaman masing-masing ketika keputusan libur satu minggu ini diturunkan. Begitu mendengar keputusan yang sangat terdengar tergesa-gesa dan jelas terlihat diambil oleh otak yang panik, instead of otak yang dingin, ekspresi muka gw berubah menjadi seperti esbeye. Kira-kira seperti ini: (=_=)

Well, the question was clear. Gw ga memiliki sedikitpun keinginan untuk mengungsi ke kampung halaman, gw ga memiliki keahlian, materi, atau hati nurani yang memadai untuk membuat gw jadi relawan, perpustakaan jelas tutup, kebanyakan teman-teman gw mengevakuasi diri, dan kebijakan pengetatan kontrol pengeluaran yang gw terapkan mulai bulan ini membuat gw gak bisa menghabiskan waktu dengan melakukan aktivitas yang menuntut kebocoran dompet. So what the fuck should I do selama liburan ini?

Ide pertama yang segera terlintas di otak gw adalah untuk membeli beberapa buku, jadi gw menarik beberapa ratus ribu dari atm dan meluncur ke shopping. Seems like a bad idea, tough. Dibutuhkan keahlian menawar dan ketegaan yang tak terhingga untuk bisa membuat transaksi yang menguntungkan di shopping. Dan dua-duanya gak gw miliki. Untungnya, dalam perjalanan menuju shopping, ide yang lebih baik mampir di inbox handphone gw.

Nasi Bungkus Kaskusian - Kaskusian Bungkus Nasi

Pesannya singkat, padat, dan jelas-jelas forward-an. Isinya adalah pemberitahuan bahwa kaskusian (kaskusian maknanya angkatan komunikasi ugm 2009, realitanya cuma segelintir orang yang itu-itu juga -_-) akan membuat posko dapur umum dan barang siapa yang ganteng dan berminat diharapkan berkumpul di kampus jam sebelas dengan membawa beras, rice cooker, dan bahan-bahan nasi bungkus (kertas, sendok plastik, dll). Awalnya gw berharap bisa ikut kumpul, tapi realita yang keras memberi tahu gw bahwa dengan angin yang paling baik pun, paling cepet gw baru bisa nyampe rumah jam setengah dua belas. Jadi gw membalas pesan tersebut dengan "hati-hati ya (=_=)d" -muka pak beye lagi- dan tidak mengkonfirmasi kehadiran. Dan memang, pada akhirnya gw baru nyampe rumah jam dua belas. Selanjutnya solat jumat dan khutbahnya yang membosankan seperti biasa menghabiskan waktu sampai jam setengah satu. Lalu, aku berencana membawa rice cooker-ku, tapi aku tahu bahwa beberapa minggu (atau bulan?) yang lalu aku memasak nasi di dalam rice cooker tersebut, tapi karena kesibukan dan seringnya makan di luar, nasi tersebut gak pernah aku sentuh. Bisa ditebak ketika aku buka rice cooker tersebut, isinya bukan lagi nasi, tapi substansi menjijikan yang dekspripsi mendetailnya akan membuat orang-orang memuntahkan isi kepalanya lewat pantat. Jadi aku menghabiskan waktu setengah jam lagi untuk membersihkan total rice cooker malang tersebut. Pembersihannya menuntut usaha ekstrim karena sang substansi laknat telah menyebar ke sela-sela rice cooker dan menumbuhkan beberapa organisme hidup yang sangat menjijikan. Yang menakjubkan, setelah berlumuran air dan sabun dalam level ekstrim di setiap sela-selanya, rice cooker ini berfungsi dengan sempurna tanpa ada konslet sedikitpun dalam mekanisme listriknya. Dude, Miyako totally did a fine job. (=_=)d

Tepat jam satu akhirnya gw siap. Masalahnya adalah, bagaimana cara gw mencapai asrama kridosono? Jalan kaki? No, terlalu jauh dan wasting time. Apalagi matahari sedang berada di puncaknya dan Yogya adalah salah satu kota terpanas di Jawa. Taksi? Puih, gw baru membuang banyak uang buat buku, ongkos taksi yang mahal tidak bisa ditolerir sama sekali. Bis? Gw ga apal trayeknya, lagian gw ga tau asrama kridosono itu dimana. Transjogya? Ga, ga ada jaminan bahwa asrama kridosono deket sama shelter transyogya. Ojek? Err... gw bukan homo. Becak? Never. Minta jemput? Totally uncool. Jadi gimana? Ditengah kebimbangan itu, ibu kos gw lewat dan menyalakan bola lampu Aha! di otak gw. Gw mengajukan permohonan untuk meminjam sepeda ibu kos tersebut, dan sang ibu kos yang dari dulu emang kelewat baik langsung mengizinkan. Ini bukan ide baik sebenernya. Asrama Kridosono itu jauh dan naik sepeda sambil bawa rice cooker sama susahnya seperti berenang pake sebelah tangan. Tapi seperti kata Dastan dalam film Prince of Persia, "Difficult. Not impossibble."

Setelah perjalanan yang sulit tersebut dilalui dengan sukses, gw tiba di posko dapur umum kaskusian. Disana gw menemukan orang-orang, *mostly girls. beautifull girls (=_=)d* yang lalu lalang dan sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Ada yang ngegoreng ratusan tempe dengan khidmat sampai-sampai mukanya jadi kayak tempe. Ada yang ngegoreng telur dengan penuh cinta, sehingga telur yang tercipta bener-bener terlihat cantik sampai-sampai sang induk ayam tidak akan protes kalau dia melihat bagaimana keturunannya diperlakukan. Ada yang gantian masakin nasi dan memastikan bahwa semua rice cooker yang tersedia dimaksimalkan keberadaannya. Dan sisanya gotong royong mengkombinasikan nasi, telur, tempe, dan tumis buatan ibunda memed menjadi nasi bungkus yang siap disumbangkan. Dalam peristiwa ini, gw menemukan prinsip ketiga mengenai wanita: Sekumpulan wanita yang terikat bekerja bersama di dapur atas dasar niat tulus merupakan pemandangan yang lebih indah daripada sekumpulan wanita di klub strip tease atau sekmpulan wanita di harem orang-orang Turki. Meskipun prinsip ini diragukan keabsahannya karena gw belum pernah ke klub strip tease atau harem -_-. (anyway, dua prinsip sebelumnya adalah: 1. Wanita terlihat lebih cantik ketika mereka diam dan 2. Blog menambah daya tarik wanita, lebih dari apa yang baju ketat dapat lakukan) Gw kemudian menceburkan diri ke dalam proses tersebut dan gak berhenti sampai nasi bungkus terakhir selesai dibungkus. Well, that was damn tiring, apalagi bagian ngebersihin dapur yang naudzubillah kotornya. Tapi ga perlu jadi orang jenius untuk menyimpulkan bahwa kerja bareng demi orang lain adalah salah satu hal paling menyenangkan yang dapat dilakukan. =)

Akhirnya kita berhasil membuat 130an nasi bungkus. Jumlah yang kecil, sangat kecil jika dibandingkan dengan ratusan ribu pengungsi yang harus diberi makan, tapi ketahuilah wahai para pengungsi yang beruntung untuk memakan nasi bungkus buatan kami, nasi bungkus tersebut diciptakan oleh orang-orang yang tampan dan caik, disusun dalam atmosfer yang penuh keriangan, canda, dan tawa, sehingga sedikit banyak nasi bungkus tersebut akan membawa kecantikan, ketampanan, dan kebahagiaan bagi siapapun yang memakannya. Gwahahaha... I kid, that's so untrue. But what's true is, 130an nasi bungkus ini memperlihatkan pada kita bahwa dalam krisis bencana seburuk apapun, selalu ada kebaikan dan kebahagiaan yang tersembunyi. Seperti kata OwlCity, "When the mount blows up, the sun will still be shine... Cause every wedhus gembel has it silver line..."

Hari ini, 9 November 2010. Sudah empat hari berlalu dari eksplosi tanggal lima, tapi tanda-tanda akan munculnya eksplosi yang lebih besar belum tampak. Segalanya nyaris sudah kembali damai dan normal. Yeah... semoga keadaan tidak menjadi lebih buruk lagi. Semoga merapi berhenti marah dan segalanya dapat kembali menjadi sangat normal dan membosankan lagi. Wish us luck and protection, guys. Aminn...

Salam cinta dari pak beye ---> (=_=)d


1 komentar:

Lynn mengatakan...

nice post! bagus diksinya and i was blend up with the atmosphere of your post.

i got a new post again, mind to visit my blog again?