Rabu, 21 September 2011

Social Movement 2.0: Ajang Manipulasi dan Spin-Doctoring

“Stupid, stupid, stupid.” –Miranda Bailey, Grey’s Anatomy

“Arizona State University kalau disingkat jadi apa coba?” –Nicko, 2011-09-21

Hei readers,

Lama tidak berjumpa. Sebenarnya saya ingin kembali curhat mengenai kegalauan hidup saya, tapi sayangnya saya menemukan sesuatu yang lebih menarik untuk dibahas, yakni Social Movement 2.0. Jadi ceritanya, beberapa jam yang lalu, saya menjad tumbal untuk mewakili komako dalam sebuah kuliah terbuka jurusan Sosiologi. Tema dari kuliah terbuka tersebut adalah youth, social media, and social movement, dan pembicaranya adalah Merelyn something: orang Indonesia yang menjadi dosen di Arizona State University (ASU). Tadinya, gw mengira ini akan menjadi sebuah kuliah terbuka yang membosankan. I mean, apalagi sih yang bakal dibahas dari tema tersebut selain yada-yada Mesir, yada-yada revolusi, yada-yada facebook, yang kesimpulannya gak bakal jauh-jauh dari satu kalimat: ‘Social media membantu pemuda melakukan social movement’. Gw udah yakin kuliah terbuka ini cuma bakal stating the obvious. Apalagi, di malam sebelumnya, gw ngobrol bareng seorang mahasiswa Perancis yang berpendapat bahwa the shitty american (kalangan akademisi didikan Amerika) adalah master of the obvious yang selalu membahas hal sederhana dengan cara yang rumit. “So stupid as usual,” katanya setelah membaca sebuah chapter mengenai teori komunikasi dari amerika.

Well, untungnya, prediksi gw salah total. Teteh Merelyn ini ternyata sama sekali bukan dosen biasa. First, dia cantik dan dia pake baju tanpa lengan. Second, dia orang sunda (behold... ras tercantik dan ras terpintar di Indonesia! #fasis). Third, apa yang dia sampaikan sama sekali tidak obvious apalagi stupid. Dia menawarkan perspektif baru untuk melihat relasi antara pemuda, social media, dan social movement. Dia berpendapat bahwa ide mengenai internet dan sosial media sebagai juru selamat yang dapat merubah dunia politik dan dunia sosial ke arah yang lebih baik bagi masyarakat adalah ide yang hanya benar separuh. Lebih jauh lagi, dia menjelaskan bagaimana ekspektasi utopis terhadap sebuah media yang baru lahir adalah kesalahan yang telah terjadi berulang kali dalam sejarah. Pasalnya, ketika radio baru muncul, para ilmuwan juga memandang radio akan menjadi juru selamat yang akan membawa keadilan dan kebebasan di muka bumi. Padahal kenyataannya, sekarang kebanyakan radio cuma jadi kotak musik yang didenger sama orang-orang galau atau orang-orang yang terjebak macet. Ekspektasi juru selamat juga dialamatkan pada televisi komunitas, video komunitas, dan bahkan... sepeda. Dan seperti yang bisa kita lihat sekarang, ekspektasi tersebut sangat ‘jauh panggang dari api’.

Meski begitu, bukan berarti teteh Merelyn meniadakan sama sekali peran social media dalam membangun social movement. Dengan menggunakan kasus Cicak & Buaya serta Koin Untuk Prita sebagai bahan studi, teteh Merelyn menyimpulkan bahwa social media memang dapat menciptakan social movement. Tapi ada dua catatan yang harus diperhatikan. Pertama, social movement yang tercipta dari social media adalah gerakan yang sifatnya kurang lebih sama seperti crowd psychology. Artinya, akan ada banyak orang yang terlibat, akan ada banyak aktivitas, akan ada banyak ‘rame-rame’, tapi tidak banyak orang yang mengerti penuh mengenai isu yang diperjuangkan. Mengapa? Karena kemungkinan besar, orang-orang terlibat dengan gerakan sosial tersebut karena alasan emosional dan peer pressure. Bukan karena pertimbangan rasional. Kedua, ada dua elemen penting dalam sebuah social movement: simbolisasi dan resonansi. Salah satu contoh simbolisasi adalah Cicak dan Buaya. Melalui simbol cicak dan buaya, tersampaikan pesan mengenai golongan baik kecil melawan golongan besar yang jahat dan kuat. Simbol ini menjadi penting, karena ia dapat menyederhanakan segala intrik dan konflik yang rumit antara KPK, polisi, dan jaksa agung menjadi sekedar pertarungan antara si baik lemah dan si jahat kuat. Masyarakat mungkin sama sekali tidak mengerti dan tidak peduli terhadap apa yang sebenarnya tejadi antara KPK, polisi, dan jaksa agung. Tapi mereka mengerti satu hal: si baik lemah butuh bantuan kita semua untuk menang melawan si besar kuat. Berkat simbolisasi ini, KPK mendulang kemenangan besar dalam perang opini publik.

Kesimpulannya, social movement berbasis social media adalah sesuatu yang stupid. Dimana orang-orang digerakan oleh emosi, simbolisasi, dan resonansi. Bukannya oleh proses berpikir yang rasional. Nevertheles, stupid atau tidak, social movement berbasis social media merupakan sesuatu yang sangat kuat. Karena kuat dan bodoh tidak pernah menjadi kombinasi yang bagus, ada satu pertanyaan harus bisa kita jawab: “Apa yang harus kita lakukan seandainya perusahaan kita diserang oleh sebuah social movement?”

That’s all folks.

Tidak ada komentar: