Traveloka, Air B&B, Gojek, Lazada. Empat perusahaan start-up ini dapat dijuluki distruptive bussiness karena, selain
memperkenalkan model bisnis baru yang digilai konsumen, mereka juga menggulung
tatanan bisnis konvensional yang ada sebelumnya. Traveloka menggoyang bisnis
travel agent di seluruh negeri; Air B&B dan Gojek membuat industri hotel
dan transportasi dalam kota ketar-ketir; dan Lazada membantu membuat pusat
perbelanjaan IT seperti Mangga Dua nyaris mati. Fenomena ini terbilang
mengagumkan karena yang diganggu oleh bisnis-bisnis distruptif ini bukan hanya
pemain kecil; pemimpin-pemimpin pasar yang selama beberapa dekade terakhir
merajai hati konsumen pun seakan tidak berdaya menghadap para perusahaan start-up ini.
Fenomena ini tentu membuat kita bertanya-tanya. Apakah sih yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan start-up ini sehingga mereka begitu digdaya?
Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dipahami bahwa ada tiga elemen utama
yang menentukan kualitas suatu organisasi perusahaan. Tiga elemen tersebut
adalah sumber daya, proses dan nilai. Sumber daya adalah aset yang dimiliki
perusahaan seperti pekerja, teknologi, modal dan lain-lain. Proses adalah alur
kerja baik formal seperti prosedur operasi standar maupun informal seperti pola
komunikasi antar individu dan pola pengambilan keputusan. Terakhir, nilai dapat
didefinisikan sebagai serangkaian sistem kepercayaan yang menentukan tingkat
prioritas berbagai aspek dalam organisasi (misalnya ketika ada perbedaan
pendapat, apakah lebih penting menjaga perasaan lawan atau memenangkan argumen?
dll.). Di lapangan, perusahaan konvensional cenderung memiliki sumber daya yang
lebih baik dibandingkan dengan start-up
di awal. Tetapi proses dan nilai organisasi mereka tidak cocok dengan
lingkungan bisnis era digital. Karena itulah di berbagai sektor bisnis perusahaan start-up dapat mengalahkan perusahaan konvensional dengan relatif
mudah.
Mari kita ambil Traveloka sebagai contoh. Saat Traveloka memasuki
bisnis online travel agent (OTA), start-up ini harus menghadapi
perusahaan travel berskala nasional seperti Dwidaya Tour. Dwidaya Tour sendiri
memiliki sumber daya yang cukup untuk membuat dan menjalankan bisnis OTA. Bahkan
Dwidaya Tour lebih dulu memasuki bisnis OTA dengan mendirikan Ezytravel pada
tahun 2008 –yang ditutup pada tahun 2009 sebelum dibuka kembali pada tahun 2011;
jauh sebelum Traveloka berdiri di tahun 2012. Meski memiliki keunggulan sumber daya
dan jaringan, tetapi elemen proses dan nilai Ezytravel yang kebanyakan masih
diturunkan dari bisnis travel konvensional ala Dwidaya Tour membuatnya tampak
kikuk ketika dibandingkan dengan Traveloka. Secara proses, Traveloka yang
konsisten berevolusi untuk menciptakan user
interface terbaik bagi konsumen (termasuk mobile apps) serta melakukan pemasaran melalui kombinasi media
digital dan konvensional membuat Ezytravel keteteran. Secara nilai, Ezytravel
yang terpaku nilai travel agent konvensional
masih memprioritaskan promo murah sebagai ujung tombak pemasarannya; sementara
Traveloka dengan leluasa mengeksplorasi aspek kecepatan, transparansi harga
bahkan aspek emosional yang ternyata cukup diapresiasi konsumen Indonesia. Karena
itulah Traveloka sekarang memimpin bisnis OTA sementara Ezytravel masih
berjuang untuk merebut sisa-sisa market
share.
Masih banyak contoh lain yang
dapat diangkat seperti bagaimana Gojek merevolusi bisnis transportasi perkotaan
dengan aplikasi smartphone meskipun
perusahaan taksi Blue Bird telah meluncurkan aplikasi sejak tahun 2011. Intinya
adalah, jika Anda ingin perusahaan konvensional Anda memiliki kesempatan dalam
bersaing dengan perusahaan start-up, ciptakanlah
proses dan nilai organisasi yang sesuai dengan lingkungan bisnis era digital.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar